Part 8

2K 182 3
                                    

Sebuah dorongan mengusik tidurku. Memaksaku segera membuka mata dan mengumpulkan kesadaranku. Aroma vanilla yang kuat mengingatkanku keberadaan Sia di sampingku.

"Kau sudah bangun?" tanyaku sambil mengusap mataku dengan tanganku. Saat mataku benar-benar terbuka yang ku lihat pertama adalah wajah Sia yang terlihat tegang. Mata hijaunya menatapku layaknya melihat hantu. Wajahnya sedikit pucat dan bibirnya terus terbuka tutup seakan sulit untuk mengatakan sesuatu.

"D ... dave ...." Suara yang seperti orang tercekik itulah yang akhirnya kudengar dari bibir pucatnya. Membuatku cemas dengan reaksi yang ditunjukan Sia. Wajahnya benar-benar pucat saat ini.

"Sia?"panggilku mendekat, hendak memeriksa keadaannya. Namun aku terkejut saat Sia langsung beringsut menjauh sambil memeluk dirinya sendiri. Sengatan aneh itu kembali kurasakan. Lagi-lagi tatapan itu lagi yang dia berikan. Tatapan takut seakan aku akan melukainya.

"Dia menolak kita, Dave! Dia menghindari kita! Dia membenci kita!" teriak Aro bertubi-tubi di dalam kepalaku. Membuatku semakin merasa tertolak. Kuposisikan tubuhku bersandar di kepala ranjang. Membuang pandanganku dari Sia. Aku merasa tak sanggup menatapnya saat ini.

"M ... maaf ...." Suara lirih Sia terdengar, segera membuatku tersadar jika tak seharusnya aku mendiamkannya. Mendengrnya meminta maaf membuatku merasa sedikit kecewa. Kata maaf bukanlah kata yang ingin aku dengarkan dari bibirnya.

Aku menatap Sia yang menundukkan kepalanya. Tanganku terulur menyentuh dagunya, membuatnya mengangkat kepalanya dan menatapku. Sebisa mungkin aku tersenyum. Aku sudah berjanji untuk bersabar dan menunggunya benar-benar terbuka.

"Jangan meminta maaf lagi, karena kau tidak pernah melakukan kesalahan," ucapku lembut, mengelus pipinya dengan ibu jariku perlahan. Aku terkekeh pelan saat pipinya sedikit merona dan mata hijaunya lagi-lagi menatapku tanpa berkedip. Oh Goddes, aku benar-benar tak mengerti bagaimana gadis ini bisa menjungkir balikkan duniaku dengan mudah. Dia membuatku sakit beberapa detik yang lalu kemudian menyembuhkanku pada detik berikutnya.

"Lebih baik kau membersihkan diri kemudian turun untuk makan malam," ucapku sebelum keluar dari kamar dan membiarkan Sia membersihkan dirinya.

***

Aku membenarkan kancing jas hitam yang melekat di tubuhku sambil sesekali memperhatikan cermin yang memantulkan bayanganku. Hari ini adalah hari aku akan memperkenalkan Sia pada seluruh anggota pack sekaligus hari pengangkatannya sebagai Lunaku. Sebelumnya aku sudah meminta kak Alena menyiapkan semua kebutuhan Sia. Dan kuyakin gadis itu sedang merias Sia sekarang.

Aku tak memberitahu Sia sebelumnya tentang hal ini. Aku hanya mengatakannya sebagai makan malam biasa. Yah, tentu ada alasan dibalik kebohonganku. Aku hanya tak ingin Sia merasa tertekan karena hal kecil seperti ini. Lagi pula Sia akan mentahuinya sebentar lagi.

"Alpha," panggil Mark yang sudah siap dengan setelan jas warna abu-abu di tubuhnya.

"Semua anggota pack sudah berkumpul di aula. Apakah acaranya sudah bisa dimulai? Kita sudah terlambat lima belas menit dari jadwal"

"Ya, tentu. Mulailah terlebih dahulu. Aku akan segera bergabung." Mark membungkuk, memberi hormat kemudian segera pergi menjalankan perintahku. Sedangkan aku masih berdiri menatap pantulan wajahku. Kuharap semua berjalan dengan lancar.

Kulihat para tamu sudah berkumpul seperti yang dikatakan Mark. Jumlah mereka tak banyak. Karena pack yang kupimpin hanyalah sebuah pack kecil dan aku juga tak mengundang pack lain dalam acara ini.

Aroma vanilla segera mencuri perhatianku dan pandanganku terpusat pada seorang gadis bergaun putih yang menuruni tangga dengan anggun. Sia, dia benar-benar terlihat menawan malam ini. Kemampuan merias Alena memang tak diragukan lagi. Tapi jika aslinya cantik, tentu akan tetap cantik. Tanpa sadar senyumku sudah merekah saat melihat gadisku datang menghampiriku. Seketika dunia terasa hanya milik kami berdua saat tatapan kami bertemu.

My Luna [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang