"Char, lu bawain dong tugasnya ke Sir Victor,"
Salah satu temannya berseru dari sudut kelas. Charis yang sedang menikmati makanannya hanya mengangguk. "Entar gue kumpul. Beres," sahutnua sambil mengacungkan ibu jari kanannya ke atas.
"Sekarang dong! Nanti orangnya ngebacot," sahut temannya yang lain.
Charis menutup kotak makannya lalu berdiri dari kursinya. Tangannya meraih tumpukan buku berwarna coklat tadi dari atas meja guru dan membawanya menyebrangi koridor selebar lima meter itu menuju ruang guru. Buku-buku tangan kanannya mengetuk pintu berwarna coklat itu sebelum mendorongnya.
"Permisi Miss, Sir. Saya mau mengumpul tugas bahasa indonesia," Charis mengucapkan kalimat itu dengan sopan dengan pelan, senyuman kecil terukir di wajahnya, berusaha terlihat sopan dan baik di depan mata seluruh guru.
Hanya beberapa guru yang menoleh ke arahnya; Stella, guru bahasa inggris, Maria, guru ekonomi, Natasya, guru PPKn dan Dito, guru matematika wajib.
Tentunya guru bahasa indonesianya, Victorio, menoleh ke arahnya yang berada di ambang pintu. "Oh iya, bawa kesini buku-bukunya. Kok tega sekali teman-teman kamu nyuruh kamu bawa buku sebanyak ini sendiri? Kemana yang laki-laki?" tanya Victoria sambil membantu Charis meletakkan buku-buku itu di atas mejanya dengan rapi.
"Makan, sir," jawab gadis itu singkat. Guru itu hanya tersenyum simpul mendengar jawaban Charis yang sepertinya sedang tidak dalam mood yang baik. "Terus kamu nggak makan seperti yang lain?" tanya Victorio penasaran dengan murid yang berdiri di depannya ini.
"Makan yang banyak, Charis. Badan sudah kurus tinggal tulang begitu," celetuk Natasya dengan mata masih terfokus kepada koreksiannya. "Iya, miss. Sudah makan banyak, kok," balas Charis setelah menoleh ke sosok guru tersebut.
Victorio menganggukkan kepalanya. "Sudah. Balik ke kelas terus lanjut makan siang, iya. Hubung waktu istirahat masih lama," kata pria berkemeja putih itu, menatap Charis dengan tatapan khasnya.
Jawaban yang diterima pria itu? Senyuman tipis. Charis lalu melangkah menuju pintu. "Thank you, sir, miss," ucapnya sambil membuka pintu dan meninggalkan ruangan yang terasa seperti neraka bagi gadis berusia lima belas tahun itu.
"Woy! Keluar juga lu dari neraka," sahut Mira yang sedari tadi berdiri di depan kelasnya.
Charis hanya melontarkan senyuman dan tatapan ledekannya. "Banyak omong. Gue serasa jadi orang munafik di dalam sana. Memang cocok kayaknya gue jadi penghuni neraka," balas Charis sambil menoleh ke pintu ruang guru itu sinis.
Mira hanya tertawa. "Sabar, Char. Mood lu jelek banget kayaknya hari ini. Lu mau hangout gak nanti sore?" tanya Mira. Charis melangkahkan kakinya ke arah pintu kelas.
"Sorry banget, Mir. Gue gak bisa. Gue ada janji sama Miss Natalie buat bantu koreksi ulangan kimia," tolak Charis. "Halah! Memang dasarnya munafik aja kali lu gak usah sok-sok manis gitu!" seru Mira dari depan kelasnya.
"Kalau gak munafik gue gak bisa dapat nilai bagus di raport. Otak gue mana pas-pasan gini lagi,"
Charis langsung menutup pintu kelasnya yang berwarna coklat tua itu. Kakinya melangkah menuju meja kursinya di barisan ketiga.
"Akhirnya gue bisa makan dengan santai,"
###
Bel pulang baru saja berbunyi dan Charis menangis bahagia. Pelajaran geografi di akhir hari serasa kiamat baginya karena ia tidak terlalu menaruh antusisas kepada pelajaran lintas minat tersebut.
"Char, gue tinggal iya! Selamat mengoreksi nilai," teriak Mira dari depan kelas X MIPA 1 sebelum menghilang. Charis baru saja akan menyumpahi sahabatnya itu namun Natalie, guru kimia sekaligus wali kelasnya masuk ke dalam kelas tempat ia berdiri saat ini.
"Ayo, Charis. Di ruang guru koreksi ulangannya,"
Charis mengangguk. Di saku kemeja putih sekolahnya yang berkerah biru sudah diselipkan pulpen merah andalan, yang selalu digunakannya untuk mengoreksi pekerjaan teman dan kakak kelasnya. Hanya membantu, Charis sendiri tidak paham apa yang tertulis di lembar jawaban ulangan kimia itu.
Natalie membukakan pintu untuk Charis. Lagi-lagi, Charis memasang sifat munafiknya.
"Permisi sir, miss,"
Namun, di ruangan itu hanya ada sang guru kimia, dirinya, dan juga Sir Victorio, guru bahasa indonesianya. "Kok sepi, miss?" tanya Charis penasaran sambil melangkahkan kedua kaki beralaskan sepatu hitam itu menuju salah satu kursi kosong di samping meja kerja sang wali kelas.
"Iya, banyak yang pulang duluan hari ini. Sini, kamu duduk di samping miss. Hari ini kita koreksi ulangan kelas sebelas, iya," ucap Natalie sambil duduk di kursinya. "Iya, miss. Oh iya, kunci jawabannya dimana miss?" tanya Charis cepat.
Sang wali kelas terlihat menunduk sedikit, mengambil dua lembar kertas kunci jawaban dari salah satu keranjang berisi tumpukan kertas lalu memberikannya ke Charis. "Nih, kertasnya. Sedikit kok koreksiannya, cuma dua puluh satu lembar," ujar Natalie lembut.
"Miss mau kemana?" tanya Charis ketika ia melihat guru perempuannya itu bangkit dari kursinya dan melangkah menuju pintu. "Toilet, Charis. Miss nggak bakal menghilang kok," jawab wanita berusia dua puluh delapan tahun itu.
Tersisalah Charis dengan Victorio di ruangan itu berdua. Hening pada awalnya.
"Charis, kamu memang sering sakit, iya?" tanya Victorio, memulai pembicaraan kepada gadis yang sibuk memberi tanda centang dan koreksian di lembar jawaban kakak kelasnya. "Ah, bisa dibilang begitu, sir. Tapi memang dari lahir sudah begini," Charis menjawab lembut.
Pria itu menatap muridnya dari kejauhan paham. "Sering ke dokter? Sudah sering check up?" tanyanya lagi. Charis mengangguk. "Daya tahan tubuh saya memang lemah, sir. Dokter manapun menyerah dengan saya," canda sang hawa.
Sang adam hanya tertawa kecil. "Sir belum pulang?" tanya Charis, sedikit menoleh ke arah gurunya itu. "Ini kamu lihat sendiri sir disini, masa kamu masih nanya sir sudah pulang atau belum?" Victorio menanggapi pertanyaan muridnya.
Kekehan terdengar dari sekretaris X MIPA 1 itu. "Maaf, sir. Saya salah menyampaikan dan memilih kata dalam pertanyaan. Saya ulang, deh. Sir kenapa belum pulang?" Charis mengulang pertanyaannya kepada guru dari pelajaran favoritnya itu.
"Nungguin kamu,"
Charis tersipu malu, lalu tertawa. "Ah, sir kok hobinya menggombal begitu? Jadi malu saya," sindir Charis, berusaha membuat suasana penuh canda. "Itu namanya usaha, Charis. Nggak ada salahnya kan berusaha?" Pria itu menanggapi.
Murid kelahiran dua ribu dua itu menyelesaikan lembar jawaban kelima ketika kini gilirannya untuk membalas. "Usaha kalau sudah punya istri dan suami itu salah, sir. Harusnya sebelum janur kuning terpasang di depan rumah," canda Charis sambil mengikat rambutnya, memberi jeda dalam mengoreksi ulangan-ulangan itu.
"Haduh, Charis ini sama Sir Victorio kok sepertinya akrab sekali seperti ayah dan anak," komentar Natalie ketika ia baru saja tiba di ruang guru setelah kepergiannya ke toilet.
"Nggak kok, Miss,"
Charis dan Victorio mengelak mendengar ucapan Natalie kepada keduanya. Kini, ketiganya saling berpandangan.
"Iya, miss bercanda doang kok,"
KAMU SEDANG MEMBACA
This Girl Is Half His Age
Romantik"Menunggumu merupakan kewajibanku. Rasa cinta di antara kita adalah hak yang setiap manusia miliki. Cinta ini bukanlah kesalahan kita. Namun hubungan ini sepenuhnya salah di sisi sir dan kamu adalah korban dari segala hal ini," Charis adalah gadis b...