Pengumuman

125 4 2
                                    

  Langit terlihat cerah pagi ini dan Charis tidak muncul sama sekali di kelasnya. Seharusnya, gadis itu mendatangi ruang guru untuk kabar pemenang lomba yang hasilnya kini dipegang Victorio, namun setelah menunggu beberapa lama, pria itu yakin antara Charis lupa atau memang telat datang.

  "Kenapa, sir?" tanya Natalie, melihat rekan kerjanya terlihat seakan sedang menunggu seseorang. Pria itu menoleh setelah meletakkan kertas itu di atas mejanya. "Lagi nunggu Charis kok nggak datang-datang, iya? Padahal kemarin pulang sekolah udah saya suruh datang kesini pagi-pagi, bahkan kalau bisa paling pagi," jawab lulusan salah satu perguruan tinggi ternama itu.

  Stella, guru bahasa inggris yang dapat dikatakan sedikit dekat dengan Charis itu lalu menyahut dari kursinya. "Mungkin Charis telat datang, sir. Tunggu saja. Setahu saya dia juga sedikit parno dengan yang namanya ruang guru. Bisa saja kan dia masih mengumpulkan keberanian dan mental kesini?" 

  "Anak itu memang banyak alasan," komentar ketus itu keluar dari bibir Maria, guru ekonomi yang sering dibilang bermuka dua oleh para murid. Biasanya, murid yang dibencinya dengan sangat akan terlihat sangat dekat dengannya; sebuah rencana dan strategi untuk bisa menghancurkan murid itu dikemudian hari.

  Victorio sedikit kesal mendengar apa yang diucapkan guru ekonomi tersebut. "Iya, mungkin apa yang Stella bilang ada benarnya. Saya tunggu deh," kata Victorio sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan mengutak-atik aplikasi yang ada di dalam ponsel pintarnya.

  Bel berbunyi tak lama, namun sosok itu tak kunjung muncul. Suara deringan ponsel Natalie terdengar sampai seisi ruangan. Wanita itu meraih ponselnya setelah meletakkan garpu dan sendok kembali ke piring, dirinya sedang sarapan. Sedangkan Victorio menggerakan ibu jarinya pada layar ponselnya itu, mengetik melalui whatsapp kepada Charis yang tak kunjung datang.

  Pintu ruang guru terdengar diketuk sebelum dibuka dan menampilkan Henry, sedang mengumpulan ponsel di kelasnya. "Henry, Charis kemana?" tanya Victorio. Remaja itu menggelengkan kepalanya. "Saya nggak ada lihat Charis sama sekali, sir. Mungkin telat," jawab Henry berusaha menutupi rasa bencinya karena sering dihukum oleh guru pria itu.

  Victorio hanya menganggukkan kepalanya.

  "Baik, bu. Nggak masalah kok asalkan dia sembuh dulu baru masuk. Iya, sama-sama, bu,"

  Natalie menutup sambungan teleponnya. "Henry, Charis absen. Dia sakit," ucap Natalie ke Henry bertepatan dengan pesan balasan dari Charis yang diterima oleh Victorio. 

  Sir.. saya absen jadi nggak bisa ke ruangan buat lihat pengumuman lombanya. Intinya menang atau nggak? 

  Victorio tersenyum membaca pesan itu. Di mengetik dengan cepat, membalas pesan dari Charis itu dengan hati riang.

  Selamat, iya. Juara dua kok. Besok kita ambil pialanya, iya. Sekolah yang antar nanti ke tempatnya. Cepat sembuh! Jangan sakit terus.

  Hanya emoji yang didapatkan oleh pria itu sebagai balasan selanjutnya. "Charisnya sakit, sir. Mungkin besok saja ketemunya," kata Natalie sebelum meninggalkan ruang guru, menuju kelas dimana dirinya menjadi wali, X MIPA 1, kelas Charis. Victorio mengangguk mengerti sebelum melirik jadwal pelajaran yang tertempel di tembok sebelah kirinya.

  "Kelas XI IPS. Baiklah.. ayo kita jalani hari yang membosankan ini,"

  Pria berkemeja putih dan bercelana panjang hitam itu kemudian berdiri dan meninggalkan ruang guru menuju kelas XI IPS, kelas yang harus diajarnya di pelajaran pertama.

###

 "Kalian sudah catat  yang kemarin?" tanya Victorio.

  Seisi kelas X MIPA 1 terdiam. Beberapa menggelengkan kepala mengakui bahwa mereka belum menulis sama sekali catatan yang diberikan minggu lalu. "Kalau sampai satupun dari kalian tidak menulis catatan sama sekali, akan sir hukum satu angkatan. Kalau ada satu atau dua yang mengerjakan, dia yang akan sir hukum. Coba buka suara!" Pria itu berseru dengan keras di kelas, memarahi muridnya tentunya.

  Cheyenne mengangkat tangannya. "Kalau tidak salah hanya Charis, sir," jawab ketua kelas itu ragu. Pria itu sedikit kesal kenapa harus Charis yang selalu rajin menulis sehingga peraturan hukuman yang dia terapkan sejak lama ini harus ditanggung oleh gadis yang hari ini absen. "Memang dia tidak memberitahu kalian untuk mencatat?" tanya Victorio.

  "Diberitahu, sir," jawab sekelas takut. "Besok akan sir hukum dia sebagai akibat dari kemalasan dan kenakalan kalian hari ini," kata Victorio tegas, sedikit sulit untuk mengucapkan kata-kata itu dari bibirnya.

  Seluruh murid X MIPA 1 menundukkan kepala; tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kepada temannya yang besok baru saja masuk tanpa mengetahui apapun yang terjadi hari ini. Semoga lu baik-baik saja, Char, batin Rena yang duduk di depan Charis.

  Victorio meninggalkan kelas sedikit emosi. Ia meraih ponselnya, pesan dari sang istri mengenai rencana pria itu absen besok untuk mengantar kedua putra dan putrinya pentas seni. Terdiam. Pria itu teringat besok ada janji dengan Charis untuk menghadiri pengambilan hadiah resmi untuk lomba yang diikuti Charis kemarin.

  Tidak bisa, maaf. Sepertinya besok akan ada urusan penting yang tidak bisa aku lewatkan sama sekali. Kita bicarakan di rumah lebih lanjut.

  Pria itu memilih Charis pada kesempatan ini. Memilih untuk bisa bersama muridnya yang berbeda hampir lima belas tahun lebih dengannya itu, meninggalkan dua buah hatnya yang besok akan pentas.

  Dimasukkan ponsel itu ke dalam saku celana lalu kakinya melangkah menuju toilet di ujung lorong, sebelah kanan. Ia mencuci wajahnya dengan air dari wastafel yang cukup dingin dan sangat menyegarkan di siang hari dengan suasana yang membuat semua orang mengantuk berat.

  Charis, disisi lain sedang berbaring di atas kasur dan menyusuri lini masa akun instagram, twitter, dan juga facebooknya. Gadis itu sedang merasakan bosan melebihi batas normal setelah dipaksa tidur kurang lebih seharian penuh oleh kedua orang tuanya. Demam dengan suhu 38 derajat itu sungguh mengganggunya.

  Ada perasaan sedih hinggap di hati Charis; entah karena tidak bisa melihat pengumuman itu dan menyindir guru ekonominya, Maria, atau karena dirinya tidak dapat bertemu dengan sang guru bahasa indonesia favoritnya, Victorio. "Kenapa jadi begini tiba-tiba?" gumamnya bertanya-tanya sambil memperhatikan foto Victorio yang diambilnya di salah satu event sekolah tahun lalu.

  Matanya memperhatikan pria itu secara seksama sebelum tertawa kecil dan mematikan layar ponselnya. "Sepertinya mesin jahit dapat mengurangi kebosanan hari ini. Baiklah-baiklah. Desain gaun tidur Marie Antoinette yang sudah setengah jadi harus diselesaikan tepat waktu," ujarnya santai sambil melangkah menuju mesin jahit di sudut kamarnya yang berwarna putih.

  Ia mulai mengambil gaun setengah jadi dari dalam salah satu lacinya dan mulai membenarkan posisinya sebelum mulai menjahit dua kain menjadi gaun yang indah seperti tahun 1800-an.

  Didalam hati, ia tidak sabar untuk besok. Mengambil piala bersama sosok yang membuatnya nyaman saat ini.

This Girl Is Half His AgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang