Bioskop, Saksi Mata

224 2 0
                                    

Sabtu.

Hari yang dijanjikan oleh Charis dan Victorio untuk 'berjalan-jalan' bersama dengan hubungan lebih dari guru dan murid. Iya, sepasang kekasih.

Langit berwarna biru cerah, siap menyambut keduanya. Kini Charis terduduk di lobby sekolah, memancing pertanyaan beberapa staff sekolah mengenai keberadaannya di hari libur yang dijawab Charis dengan kebohongan tentunya. Sebuah notifikasi whatsapp masuk. Dengan penuh semangat, sang hawa membacanya. Pesan dari Victorio tentunya.

  'Sudah di depan. Ayo cepat'

  Charis langsung berlari secepat kilat menuju mobil kecil berwarna putih yang berhenti tepat didepan lobby. Ia membuka pintu mobil dan masuk, menutupnya cepat agar tidak ada yang melihat sosok pengemudinya. Mobil lalu berjalan meninggalkan area sekolah, menuju jalan raya yang lebar.

"Char, sudah makan?" tanya Victorio. Charis menggelengkan kepalanya. "Belum sama sekali," jawabnya pelan. "Sir beli tiketnya yang satu jam lagi. Kayaknya nggak cukup buat makan dulu. Gimana?" tanya pria itu sambil menoleh ke Charis beberapa detik.

Ia menggeleng. "Tidak apa-apa, sir. Nanti bisa pesan makanan di bioskop," Charis mengeluarkan jurus andalan yang selalu berhasil membuat pria itu lemah; senyumannya. Jalanan kota terlihat cukup sepi, membuat mobil melaju cukup kencang menuju tempat yang dituju, sebuah pusat perbelanjaan yang jarang dikunjungi murid sekolah itu karena jauh dan 'tidak ada hiburan'.

Layaknya sepasang kekasih yang baru saja dimabuk cinta, Victoria membukakan pintu Charis tepat ketika gadis itu akan menarik gagang pintu mobil tersebut. "Tuan putri tidak boleh membuka pintu sendiri karena sekarang ada pangeran yang akan sealu ada di sampingnya." ucap guru bahasa indonesia itu lalu menutup pintu mobil berwarna putih tersebut.

"Ah, sir! Kenapa pula harus dibukakan pintu seperti itu? Charis kan bisa buka pintu sendiri. Charis juga bukan putri kerajaan yang harus diperlakukan seperti anak manja." Charis mengerucutkan bibirnya, tanda ia tidak terlalu senang dengan perlakuan yang diberikan oleh pria itu. Victorio hanya terkekeh kecil mendengar jawaban gadis tersebut.

Lalu, sebuah pertanyaan terlintas di kepala Charis seketika. Ia nyaris melupakan pertanyaan sepenting itu. "Sir, kalau sir sekarang ada disini, sir bilang apa ke istri dan anak sir di rumah?" tanya Charis, yang membuat Victorio sedikit terkejut karena tidak menyangka akan menerima pertanyaan seperti itu.

"Sir ada urusan di sekolah. Sebentar lagi sekolah akan ada akreditasi jadi jadwal sir pasti padat, ada alasan untuk menyelip keluar dan menemui Charis yang cantik satu ini."

Pipi Charis berubah menjadi warna merah tomat, rasa malu dan rasa bahagia karena mendengar alasan manis seperti itu cukup membuatnya tersipu. Gadis yang duduk di kelas sepuluh itu kemudian mengeluarkan dua lembar masker wajah yang lalu salah satunya diberikan kepada pria itu. "Ayo sir dipakai jadi nanti tidak ada yang tahu kita sedang..."

"Berduaan?"

Keduanya lalu cekikikan sendiri dengan jawaban itu lalu memakai masker tersebut sebelum melangkah dengan gandengan tangan yang mesra. Dari menaiki lift, hingga sekedar melihat toko-toko yang berada di pusat perbelanjaan yang sangat sepi itu, tangan keduanya tak pernah terlepas sekalipun.

Ketika langkah kaki mereka kini berhenti di depan snack corner bioskop tersebut, barulah Victorio melepaskan genggaman tangan mereka untuk membayar popcorn serta minuman yang dipesan untuk menemani mereka menonton film yang awalnya tidak disetujui pria itu. The Shape of Water memang salah satu film dengan salah satu adegan yang tidak pantas ditonton oleh anak di bawah umur.

"Demi Charis, sir kasih deh nonton film seperti ini. Hanya kali ini saja, iya. Besok-besok.. tidak boleh!" kata pria itu sambil menyentil dahi Charis, yang sepertinya sudah kebiasaannya terhadap gadis tersebut. Anggukan kepala Charis menjawab ucapan pria itu. "Kalau seperti ini kan nanti kenangannya berbeda, sir. Ada yang panas." komentar Charis.

"Charis!"

Dengan wajah pura-pura polos, Charis menatap pria itu, hanya kedua mata indahnya yang terlihat. Pria itu tertegun untuk beberapa saat sebelum menarik tangan muridnya sekaligus kekasihnya sekaligus selingkuhannya juga ke dalam studio 3, dimana film mereka akan ditayangkan.

Duduk manis di kursi yang sudah mereka pesan, tepatnya di paling atas pojok. Setelah beberapa iklan terlewati, ternyata yang menonton di studio tersebut hanya sekitar lima hingga enam orang, sehingga Charis dan Victorio bebas duduk di manapun mereka inginkan.

Ketika film dimulai, menampilkan adegan pertama yang sangat vugar dan tidak cocok untuk anak di bawah usia tujuh belas tahun, Victorio menutup kedua mata Charis sambil berbisik lembut, tepat di telinganya. "Tidak boleh lihat, Charis. Tidak boleh. Berbahaya." bisik pria itu, membuat Charis tertawa geli, membiarkan pria itu menutup kedua matanya untuk adegan itu saja.

Setelah adegan tersebut terlewati, Charis kembali menikmati film romantis tersebut bersama sang kekasih, Victorio, guru bahasa indonesianya. Merasa situasi aman, keduanya melepas masker yang menutupi setengah wajah masing-masing. 

Memasukkan popcorn ke mulut satu sama lain secara bergantian, bahkan terkadang tertawa dan menangis bersama, terbawa alur dari cerita yang dapat dikategorikan cukup sedih itu. "Charis cengeng, baru segitu saja menangis." ledek pria itu sambil menggelitiki pinggang Charis. Gadis itu tertaawa kecil, meminta tolong dengan sangat kepada pria itu untuk berhenti.

Lirikan mata Charis ke Victorio membuatnya memiliki kesempatan untuk membalas ledekan pria itu. "Sir juga menangis, kan? Jangan ngeledek Charis doang, dong!" balas Charis, tidak mau kalah. Victorio tersenyum lalu menyikut pelan kekasih mudanya itu.

Usia memang terpaut mungkin lebih dari setengahnya, namun hubungan keduanya seperti seseorang yang baru saja dimabuk asmara, begitu manis dan lucu untuk dilihat. Senyum rasa senang dan bahagia tak kunjung hilang dari kedua waja mereka. 

Film tersebut kemudian selesai, sehingga mau tidak mau keduanya kembali menutupi identitas masing-masing dengan sebuah masker berwarna biru dan hitam yang menutup wajah kecuali bagian mata. Keduanya bergandengan tangan, meninggalkan studio tersebut dan sekedar melangkahkan kaki mengelilingi mal tersebut.

"Filmnya romantis." Charis meninggalkan sebuah komentar singkat yang berarti bagi Victorio. "Romantis, kan? Seperti sir?" balas pria itu, tidak ingin kalah. Charis menatap pria itu dengan tatapan meragukannya. Mencibir lebih tepatnya di balik masker tersebut. "Sir itu tidak romantis ataupun humoris." ucap Charis.

Victorio menatap Charis tidak percaya, menghentikan langkahnya. "Kalau begitu, sir itu seperti apa?" tanyanya, meminta pendapat. 

"Membosankan. Lelucon yang dilontarkan tidak lucu. Kalau tertawa seperti badut."

to be continued.

This Girl Is Half His AgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang