Akhir

192 1 0
                                    

Sekembalinya keduanya ke dalam parkiran, Charis mengecup pipi pria itu lembut lalu menatapnya lekat-lekat, seakan tidak ingin kehilangan pria itu dan selalu menginginkannya berada di sampingnya sampai ajal memisahkan, walau hal tersebut tak mungkin. Apalagi dengan posisi janur kuning sudah melengkung di depan rumah pria itu beberapa tahun yang lalu.

Victorio hanya tersenyum tipis mendapat ciuman dari sang keksaih gelap di pipi. Bukan, bukan karena dia tidak menyukainya dan hanya menyunggingkannya setipis itu, namun karena dia terlalu bahagia sampai tidak bisa mengekspresikan perasaan bahagianya begitu saja di depan Charis yang jauh lebih muda darinya. 

Dua puluh tahun kurang lebih usia mereka terpaut. Namun cinta tidak pernah memandang usia, memang.

Charis menggenggam kedua tangan pria itu erat sebelum mencium punggung tangan itu dengan lembut dengan bibirnya yang terspau dengan lipstik berwarna merah muda itu. Victorio mencium pucuk kepala gadis tersebut, menyalurkan rasa sayangnya yang tak dapat diekspresikan melalui kata-kata.

"Sir, kita akhiri di sini saja, iya. Charis rasa... Charis tidak akan sanggup menjalani hubungan ini. Charis takut istri sir tahu. Charis takut ada yang tahu dan nanti kita bermasalah. Sir tahu dengan jelas kalau Charis sayang sekali dengan sir dan sir juga sudah punya dua anak yang masih kecil. Rasanya tidak tega menghancurkan pernikahan sir." ucap Charis tanpa gerak-gerik mencurigakan sebelumnya, membuat pria itu terdiam, merasakan nyeri dan sakit dalam dadanya.

Air mata itu jatuh satu persatu dari pelupuk mata Charis, membuat pria itu jauh lebih sedih. Victorio meraih tangan kecil milik Charis lalu menggenggamnya erat. Maniknya menatap kedua mata Charis yang terlihat indah dan tak pernah bosan dilihatnya. "Charis, maafkan sir karena hubungan kita jadi gagal karena umur dan juga status sir." katanya menyesal.

Tak pernah disangka oleh Charis, gadis itu menjadi saksi ketika air mata sang kekasih jatuh begitu saja, menunjukkan sisi lemahnya. Guru yang terlihat menyeramkan dan selalu mengeluarkan kalimat-kalimat menyakitkan kepada muridnya, justru menangishanya karena masalah hati dan cinta yang gagal.

"Sir, jangan nangis. Charis mau mengembalikan cincin ini ke sir."

Gadis itu melepaskan cincin safir mawar itu dan memberikannya kepada Victorio, namun pria itu menolak. "Itu sebagai simbol bahwa cinta sir ke kamu tulus dan sebagai tanda bahwa hubungan kita pernah menjadi sejarah besar dalam kehidupan kamu dan sir." ucapVictorioi lembut sambil memasangkan kembali cincin itu di jari tengah Charis.

Charis menatap kedua mata pria itu dengan air mata, begitupun sebaliknya. Ibu jari pria itu menghapus air mata yang membasahi pipi gadis berusia enam belas tahun itu lalu tersenyum. "Sir antar pulang kamu, iya?" kata pria itu setelah itu. Namun, sebelum Victorio menyalakan mobil, Charis melakukan hal yang sama.

Ia menyondongkan tubuhnya ke pria tersebut. Jarak di antara keduanya hanya beberapa senti saja. Begitu dekat antara wajah dengan wajah lainnya. Charis menghapus air mata pria itu dengan selembar tisu lalu tersenyum.

"Kita berangkat sekarang saja, sir."

Perjalanan hening menjadi faktor hubungan mereka semakin canggung hari ini setelah keputusan yang diambil Charis di hari pertama mereka berkencan. Agak sulit untuk diterima oleh kedua pihak, namun mau tak mau harus dilakukan untuk mencegah hal buruk terjadi di kemudian hari.

Mobil berhenti di sekolah. Charis segera turun dari mobil dan menoleh ke pria itu sebelum menutup pintunya. 

"Sampai jumpa di lain waktu. Semoga kisah cinta kita di lain hari dengan hal yang lebih membahagiakan dan berkesan. Aku mencintaimu."

###

Senin merupakan hari yang paling membuat semua murid malas, begitupun dengan guru mereka sendiri. Charis dan Victorio belum bertemu sama sekali hari ini. Seakan keduanya menarik diri dari keeksistensian kehidupan sekolah. Victorio sama sekali tidak bergeming di dalam ruang guru sama sekali, seakan sudah tidak ingin berkaitan dengan kehidupan perjulidan murid.

Sedangkan Charis enggan untuk membuka mulut sama sekali sejak tadi. Kedua matanya yang bengkak membuat semua orang merasa tidak enak hati dengannya. Semua cemas dengan kondisi gadis itu sejak masuk sekolah minggu ini. Apalagi dengan ulangan yang menumpuk belakangan ini membuat mereka curiga apakah Charis menangis masalah sekolah atau frustasi hidup.

Hari ini ada ulangan lari sebanyak dua puluh lima kali mengelilingi lapangan basket. Entah mengapa, gadis itu yang biasanya takut kini bersemangat, berusaha melampiaskan masalah hatinya menjadi olahraga. Sebuah sistem mekanisme pertahanan diri yang mendadak muncul pada dirinya.

Kelas dua belas diliburkan karena kelas mereka mengalami renovasi, sehingga pelajaran sekaligus ulangan olahraga menjadi tontonan guru-guru yang tidak mengajar, dengan camilan di samping mereka layaknya sedang menonton acara lomba maraton lari untuk Asian Games. Mereka duduk berjejer di pinggir lapangan bersama murid yang belum mendapat gilirannya dan Victorio termasuk berada di sana.

Giliran perempuan dari XI MIPA 1 yang kini mendapat giliran berlari. Ketika bunyi pluit terdengar, Charis langsung berlari dengan kencang, bahkan menyalip semua murid yang biasanya dikenal sebagai pelari tercepat. Mulai dari sang ketua kelas, hingga wakil kelas yang selalu menduduki nomor satu, semua terkalahkan.

Sorakan dukungan terdengar untuk gadis yang biasanya tidak pernah berhasil menyelesaikan ulangan larinya. Sepuluh putaran.. Lima belas putaran.. Semua guru nyaris tidak bisa mengedipkan mata mereka melihat keajaiban yang baru saja terjadi di depan mata mereka secara langsung.

Putaran ke dua puluh enam, Charis mulai memperlambat. Dia sudah menyelesaikannya, namun masih ingin terus berlari.

Bruk!

Dalam hitungan detik mendekati garis menuju putaran ke dua puluh tujuh, Charis terjatuh tak sadarkan diri. Pelipisnya terluka karena terkena lantai kasar sedangkan hidungnya mengeluarkan darah. Bukan, bukan teman-teman yang tepat berada di sebelahnya yang langsung mengangkatnya.

Victorio berlari dengan kencang dari kursinya lalu mengangkat tubuh ringkih tersebut. Ia menepuk pipi Charis berkali-kali, memeriksa napas dan detak jantungnya. Nyaris tidak ada. Begitu lemah denyut nadinya. Napasnya pun jarang. Maka hanya satu tujuan Victorio saat ini.

Ruang klinik.

This Girl Is Half His AgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang