Pendahuluan

504 9 1
                                    

Cinta itu tidak memandang usia, pekerjaan, jenis kelamin, penghasilan, fisik ataupun hal lainnya. Cinta itu memandang hati. Seberapa tuluskah hatimu ? Apakah kamu mampu untuk menjaganya?

Charis belum pernah sekalipun jatuh cinta dengan pria. Untuk mempunyai pemikiran ia akan berpacaran saja, hal itu tidak pernah terlintas di kepalanya. Sejenak ia berpikir, apa itu cinta ? Apa yang membuat orang - orang tergila - gila dengan cinta sedangkan ia sendiri tidak pernah mengalaminya?

Kini dirinya paham atas segala hal yang dinamakan cinta tersebut. Iya, benar. Dirinya jatuh dalam pesona seseorang yang tidak tampan, tidak juga dapat dikatakan kaya. Pria itu.. tidak dapat dikatakan mampu mencintainya kembali. Pria itu tidak seperti imajinasi teman - teman sebayanya.

Pria itu sudah beristri, menjadi seorang ayah, dan juga dua kali lebih tua dari dirinya. Bahkan mungkin lebih dari dua kali. Namun, hati Charis tidak dapat berbohong. Ia sudah terjebak dalam pesona pria bernama Victorio itu. Tidak ada yang benar - benar tahu kisah cintanya selama ini. Hanya satu hingga dua orang saja yang tahu, itupun tidak spesifik.

Victorio, guru Bahasa Indonesianya.

Semua dimulai November, di suatu tahun dimana si gadis remaja berusia lima belas tahun itu baru saja memulai persiapan ulangan umum.

###

"Char, lu gak pergi kemana gitu?"

"Gue? Enggak deh, lagi gak mood buat jalan - jalan. Kenapa, tumben nanya?" tanya Charis balik sambil menggigit kue bolu di tangannya saat ini. Mira, sahabat satu - satunya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah temannya yang satu ini. "Jalan yuk, gue bosen nih," ajak Mira sambil melangkah menyusuri koridor menuju kantin bersama Charis.

"Hah? Jalan? Duit darimana, sayang?"

Charis menepuk kedua tangannya untuk membersihkannya dari bekas kue bolu tadi dan memasukkan dompetnya ke saku rok seragam sekolahnya. "Refreshing sebelum ulangan umum dong," sahut Mira. "Enggak ah, refreshingnya setelah ulangan umum aja. Nanti keburu malas," tolak Charis.

Kakinya melangkah mendahului Mira yang masih sibuk mengamati gebetannya di lantai bawah. "Eh, Char.. lu tahu gak? Lho- Woy tungguin kali!"

Mira berlari ke Charis yang sudah sampai di kantin. Temannya yang satu itu sibuk membeli nasi goreng untuk makan siang. "Mbak, fish and fries satu dong," pesan Charis sambil menyodorkan uang dengan nominal lima puluh ribu itu, berusaha mengalahkan para 'pesaing'-nya dalam membeli makanan andalan ini.

"Maaf, dik. Fish and fries-nya sudah habis. Mau chicken steak, gak?" tanya pemilik salah satu stand kantin sekolah. Charis lalu menarik kembali tangannya yang mengulur ke depan dengan selembar uang berwarna biru tadi. "Yee.. bilang dong mbak kalau habis! Iya udah, chicken steaknya satu deh," sahut gadis itu.

Ia lalu menerima kotak putih dengan uang kembalian di atasnya, setelah perempuan di balik meja mengambil uang lima puluh ribuan itu. "Woy, lama amat lu beli makanan doang," Mira merangkul temannya itu. "Lu kayak gak tahu aja. Beli fish and fries di sekolah ini tuh penuh perjuangan, lebih susah dari apapun," balasnya.

Kedua perempuan dengan rambut hitam terurai itu lalu duduk di kursi yang berada di balkon. "Eh, beli fish and fries itu gak sesulit mengambil hati doi, Char," ucap Mira entah terkena angin apa. "Sumpah, iya. Lu udah berapa kali gue bilangin kalau gue nggak tertarik sama yang namanya urusan percintaan. Cinta itu mitos, Mir. Khayalan dan karangan yang dibuat otak hanya untuk kesenangan pribadi semata. Lu tuh harus buka mata lebar-lebar," sambung Charis panjang lebar sebelum mulai memotong daging ayam itu dengan kedua alat makan plastiknya.

Mira hanya menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Charis yang selalu sama. "Bosan gue dengar segala mitos dan legenda yang lu ceritain ke gue. Lu kayaknya anti banget sama cinta. Lu kenapa sih?" tanya Mira penasaran sebelum mengunyah makanannya.

"Nggak kenapa, sih. Cuma berusaha membuka pikiran lu aja,"

Mengalah.

Mira melanjutkan makan siangnya bersama Charis yang duduk di depannya. Kalau sudah makan siang, tidak akan terasa. Bel berbunyi tak lama, keduanya yang belum selesai menghabiskan makan siang terlihat kesal.

"Siapa sih staff yang ngurusin bel sekolah?" protes Charis. "Siapa lagi kalau bukan staff TU," jawab Mira malas. "Nggak mikir gitu muridnya butuh waktu tambahan buat makan," omel Charis sambil berdiri dan melangkahkan kaki menuju kelasnya yang berada di lantai tiga.

"Lu pelajaran apa sekarang?" tanya Mira.

"Mathematics, Mir. Lu mau gabung? Sini gue ajak masuk," jawab Charis. Mira menoleh. "Mathematics siapa nih? Lu pikir matik cuma satu doang di sekolah ini?" sahut Mira. Charis membuka pintu kelasnya, menampilkan murid-murid X MIPA 1 yang berlarian kesana kemari melempar plastisin dan tisu ke tembok atas kelas.

"Mathematics, Mira. Mathematics cuma satu! Matematika baru ada dua. Udah ah, gue mau masuk nih,"

Mira lalu berlalu ke kelasnya yang tepat berdampingan dengan kelas Charis. "Woy! Lu pada waras lempar-lempar tisu ke atas? Awas lu pada ketahuan," teriak Charis. Teman-temannya seakan tidak peduli. "Iya elah, Char. Cuek aja kali. Lu panik amat cuma mainan gini doang,"

Ting Tung!

Suara interkom terdengar, membuat anak-anak di kelas tidak bergerak sedikitpun.

"X MIPA 1..!"

Satu kelas mendadak hening. Ada yang perlahan mendaratkan bokong mereka ke kursi. Ada yang seperti patung, terpaku diam di posisi yang sama; bahkan masih ada yang di posisi melempar tisu ke atap.

"Kacamata saya tolong bawa ke ruangan. Tadi ketinggalan pas saya ngajar,"

Satu kelas kembali ribut. "Halah, gue pikir si kumis lagi memantau rumah pertamanya di CCTV. Tahunya cuma minta kacamatanya balik," celoteh sang ketua kelas, Cheyenne. "Bacot lah. Tujuan lemparin tisu ke atas buat apa coba?" tanya Charis sambil memasukkan dompetnya ke dalam tas. "Lu hidup nggak dinikmatin sih, Char. Ini namanya trend zaman now," sahut Dio, yang duduk tepat dibelakangnya.

"Gue buang sampah dulu. Lihat muka kalian bosan gue,"

"Dih, ngapain bosan lihat muka kita?"

Charis melirik kedua temannya itu. "Muak gue lihat terlalu banyak sampah di kelas," sahut gadis itu sarkastik sambil melangkah keluar, menghampiri tempat sampah yang berada tepat di seberang pintu.

"Charis, awas dong. Nanti kalau saya jatuh kamu mau gendong saya?"

Suara itu justru membuat murid yang menjadi sekretaris kelas itu terkejut dan bahkan hampir membenturkan kepalanya ke tembok. "Eh.. maaf, Sir. Sumpah, saya nggak lihat sir lewat disini," balasnya cepat.

Victoria, guru Bahasa Indonesia itu lalu berlalu begitu saja. Charis hanya mengendikkan kedua bahunya lalu masuk ke dalam ketika guru mata pelajaran selanjutnya masuk ke dalam kelas, mendahuluinya.

This Girl Is Half His AgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang