Senyuman Manis

185 5 1
                                    

  "Char, gue rasa Sir Victorio mabuk sama kecantikan lu,"

  Mira mengucapkan kalimat itu dengan santai. Charis menyikut sahabatnya hingga hampir terjatuh. "Lu waras? Lu kali yang mabuk, Mir. Gue sih masih waras! Lagian tuh orang sudah nikah dan jadi bapak-bapak, gue mana mungkin sama dia. Ngotak kali, Mir!" elak Charis emosi.

  Gadis di sampingnya hanya tertawa canggung. "Iya, sorry, Char. Habis, dari kemarin gue lihat lu sama tuh garing kayaknya nyambung amat kalau ngobrol," sahut Mira sambil memanyunkan bibirnya dan menunduk.

  "Gue nggak bakal jadi pelakor. Gue juga gak tertarik sama cinta, lu tahu sendiri bagi gue cinta itu fiktif. Itu hanya cerita buatan akal pikiran mereka yang nggak sehat, termasuk kedua orang tua gue," timpal Charis cuek. Mira menggelengkan kepalanya mendengar pernyataan Charis, tidak setuju. "Awas karma, Char. Hati-hati lu kalau ngomong. Kita mana tahu kedepannya nanti gimana. Lu juga nggak tahu kan?" nasihat Mira.

  Charis menoleh ke arah temannya. Raut wajahnya jelas menunjukkan ketidakpahaman yang sangat.

  "Gue rasa lu lebih cocok jadi istri ustaz di kampung sana, Mir. Gue setuju banget kalau lu nikah sama salah satu pemuka agama. Cocok lu ceramah begituan," ucap gadis keturunan tionghoa inggris itu sambil melangkah cepat menuju koridor kelasnya. Mira yang tertinggal mempercepat kedua kakinya, mengejar Charis.

  "Woy, Char! Tunggu gue dong. Tega amat lu ninggalin sahabat sendiri," serunya dari kejauhan. Napasnya terdengar tidak teratur ketika berhasil menyusul Charis yang entah mengapa tadi sudah jauh sekali darinya. Mira sempat bertanya-tanya, apakah Charis ini hantu atau manusia karena keegoisannya yang tinggi dan juga sering menghilang tiba-tiba.

  Sinar matahari masuk ke dalam kelas X MIPA 1 dari jendela yang lebar. Murid-murid yang duduk di kelas itu sepertinya enggan untuk menutup kaca dengan tirai putih yang ada, membiarkan rasa panas untuk masuk barang sedikit saja ke kelas mereka.

  "Sumpah, AC sudah mati dua-duanya tapi udara masih sedingin kutub. Gue gak salah benua kan ini?" tanya Henry ke Cheyenne yang duduk di sampingnya.

  Cheyenne memutar kedua bola matanya kesal mendengar suara Henry yang setiap hari mengisi gendang telinganya, terutama di bagian kiri. "Lebay, lu! Udaranya memang dingin, tapi nggak sedingin kutub utara juga kali. Sok puitis lu, gue pingin muntah dengarnya. Lebih baik lu diam. Nggak usah banyak omong," balas Cheyenne yang memiliki rambut sedikit ikal itu ketus, membuat Charis yang mendengarnya dari ambang pintu hampir tertawa keras.

  "Hen, gue belum sempat nanya masalah penghapus papan kemarin. Gimana? Lu dihukum apaan?" tanya Charis sambil meletakkan tas ranselnya di samping meja berwarna hitam itu. Henry menghela napas mendengar pertanyaan Charis. "Nggak diapain kok, Char. Gue rasa dia juga sudah bosan ngelihat wajah gue setiap hari dihukum. Cuma, gue dikasih pesan satu," jawab Henry santai.

  Charis menaikkan salah satu alisnya, meminta penjelasan mengenai kata 'dikasih pesan' kepadanya secara spesifik dan mendetail.

  "Nyapu seluruh kelas yang ada di lantai-,"

  "Mampus!" potong Cheyenne puas mendengar hukuman yang diberikan ke Victorio. "Wah, lu kenapa sih Chey sensi banget kayaknya sama gue? Gue gini-gini juga punya perasaan kali!" sahut Henry. Cheyenne menatap teman sebangkunya jijik. "Lu memang lebih pantas dikasih hukuman jadi babu sekolah dibandingkan hukuman dipukulin. Gue akuin kali ini Sir Victorio pintar. Pertama dan terakhir kalinya gue ngomong gini deh," kata Cheyenne, sang ketua kelas seakan dirinya tidak peduli dengan Henry.

  Charis mengalihkan pandangan menuju gerombolan temannya yang duduk tepat di belakangnya. 

  "Woy! PR nih?" tanya Charis penasaran, takut ada PR yang harus dikerjakan karena dirinya sebenarnya sama sekali tidak pernah mengerjakan PR di rumah kecuali benar-benar niat atau penting. Semuanya tidak ada yang menjawab. "Dengar nggak sih gue lagi nanya disini? Lu terlinganya pada tuli semua? Nggak kan?" Charis menyambungnya dengan suara yang lebih keras.

  Frederick menoleh ke Charis. "Berisik lu, Char. Kita lagi pada main mobile legend. Lu ngomong terus, berisik tahu! Nggak ada PR hari ini," jawab Frederick yang berpostur tinggi namun rambutnya seperti padang pasir yang tidak terurus, rambutnya panjang.

  Charis mendengar suara bel tepat ketika kakinya melangkah di koridor menuju kamar mandi yang berada di sebelah tangga. Di ujung, ia dapat melihat guru bahasa indonesianya yang berpatroli memantau mereka yang telat masuk ke sekolah.

  Mendadak pandangannya buram dan seperti kesemutan yang merambat dari hidung ke kepala belakang. Kakinya mulai berat digerakkan, semakin lama semakin lemas. Napasnya seakan ditahan oleh sesuatu di dada, membuatnya merasa tersekat.

  Tak butuh waktu lama, Charis terjatuh ke lantai keras. Suara itu membuat beberapa murid yang berlalu lalang serta Sir Victorio menoleh. Pria itu terkejut melihat sosok muridnya terjatuh tak sadarkan diri di tengah-tengah koridor dengan wajah yang pucat pasi.

  "Charis.." panggil pria yang hari ini berkemeja batik itu, menepuk pundak gadis itu pelan namun muridnya tak sama sekali bergerak. Pria itu mengangkat tubuh ringan Charis perlahan, dengan sedikit panik, menuruni tangga membawanya menuju klinik yang letaknya sedikit jauh dengan gedung SMA.

  "Charis!" panggil Victorio sedikit keras, namun Charis lagi-lagi tidak menanggapi sama sekali. Matanya terpejam dan tubuhnya terlihat begitu lemah. Pintu klinik yang terbuka lebar membuatnya dengan mudah membaringkan sosok murid barunya itu ke atas tempat tidur.

  "Ada apa?" tanya seorang staf yang memang bekerja di klinik sekolah melihat Charis tidak sadarkan diri seperti itu. "Kurang tahu tapi tadi dia sudah terjatuh begitu saja di lantai," jawab pria itu dengan nada cemas. Staf wanita itu langsung memeriksa Charis sedangkan Victorio berdiri di sisi tempat tidur, menatap muridnya yang pingsan.

  Staf itu memasangkan selang oksigen ke hidung murid yang terdaftar dalam esktrakurikuler jurnalistik dan karya ilmiah remaja itu.

  Mata Charis perlahan terbuka tepat setelah staf tadi kembali duduk di kursinya. Tertutup tirai, Victoria memastikan muridnya sudah tersadar. "Charis, bisa mendengar sir?" tanya Victorio sambil mengibaskan tangannya sebentar di depan mata Charis. Gadis yang lahir di bulan September itu mengangguk lemah.

  "Ada yang sakit?" tanya guru dengan satu orang anak perempuan itu, namun dijawab dengan gelengan kepala Charis yang sangat lemah. "Pasti bisa sembuh. Semangat, iya! Jangan terus seperti ini," kata Victorio, memberikan semangat kepada muridnya yang sakit itu. Charis tertawa kecil melihat tingkah gurunya yang memberi semangat dengan ekspresi wajah yang lucu.

  "Senyum dong! Kamu itu cantik, jangan biasakan wajah jutek yang ditunjukkin, iya. Nanti cowok-cowok mental. Untung ada satu yang enggak," 

  Charis yang menganggap kata itu sebagai candaan haya tertawa tanpa suara keluar sedikit pun. Matanya menatap lekat manik milik pria itu. Terlihat ketulusan dan Charis entah mengapa tertarik untuk terus menatap kedua manik milik gurunya.

  Indah.. sekali, batinnya.

This Girl Is Half His AgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang