Perjalanan Berdua

149 3 2
                                    

  Hari Jumat menyambut seluruh masyarakat Indonesia. Charis yang sudah merasa baikan walau tubuhnya sebenarnya dapat dikategorikan masih demam sudah berdiri di lorong, tepat di tengah-tengah antara pintu kelasnya dengan pintu ruang guru yang berhadapan.

  Ia meloncat-loncat kecil. Entah mengapa belakangan ini ia sangat cemas setiap memasuki ruang guru, padahal ia merasa tidak membuat kesalahan apapun. Melihat Victorio memang keinginannya, apalagi untuk menatapnya lebih lama. Namun, menghadapi ketakutannya, itu yang sulit bagi Charis.

  "Char, lu ngapain sih ditengah jalan begitu? Minggir, gue mau masuk kelas," ucap Henry ketus sambil menyenggol gadis itu pelan, membuatnya hampir terjatuh ke kanan. "Woy, apaan sih? Suka-suka gue lah! Nggak usah lo ikut-ikut bacot," balas Charis sengit, merasa kesal dengan apa yang dilakukan Henry kepadanya.

  Remaja laki-laki itu terlihat tidak peduli dan justru malah melenggang masuk ke dalam kelasnya begitu saja, membuat Charis nyaris melempar buku biologinya yang tebal ke temannya yang satu itu.

  "Duh, dasar alien!" gerutunya.

  Charis kembali menatap pintu ruang guru. "Charis, kamu ngapain berdiri di depan ruang guru kayak gitu? Kamu mau masuk? Masuk saja, parno sekali sepertinya. Kamu buat masalah?" cecar Hendrick, guru fisika yang cukup sering beradu mulut dan bertengkar dengan Charis dibalik teman-temannya.

  "Ih! Sir, saya nggak buat masalah sama guru lain. Saya cuma buat masalah sama sir doang, nggak sama yang lain!" sahut Charis cepat, tidak terima dengan apa yang dituduhkan oleh gurunya itu. "Loh, sir cuma nanya. Kamu saja yang sensi," balas guru fisikanya itu sambil membenarkan kacamata tanpa frame itu.

  Pria itu lalu mendorong pintu ruang guru, menampilkan sedikit pemandangan ruangan itu. "Kamu mau masuk atau nggak? Sir sudah baik hati bukain pintu nih. Besok-besok nggak ada di kamus sir bukain pintu buat kamu," sahut pria itu, seakan banyak sekali dendamnya terhadap Charis.

  Charis melangkahkan kakinya dengan berat hati ke dalam ruangan tersebut. Tatapan guru-guru sudah menyambutnya sejak berada di ambang pintu. "Kenapa? Takut masuk lagi?" tanya Maria sinis. Victor hanya melemparkan tatapan penuh kekesalannya kepada wanita itu, seakan ingin berkata kasar.

  "Permisi sir, miss,"

  Charis dengan cuek yang dibuat-buat langsung menghampiri guru bahasa indonesianya. Hanya senyuman super tipis diberikan kepada Maria, guru ekonominya yang entah mengapa pagi-pagi sudah sensitif sekali terhadap segala ekosistem dan makhluk hidup yang berada disekelilingnya.

  "Mobilnya sudah siap, Charis? Kita berangkat sekarang kalau begitu," ucap Victorio dengan senyuman lebar di wajahnya sambil bangkit dari kursinya dan memasukkan dompet dan ponsel ke dalam kantung celananya yang berwarna hitam itu.

  "Selamat iya, Charis! Selalu berkarya, iya," kata Madeleine, guru budi pekerti, menyelamati muridnya yang baru saja meraih juara pertama dalam lomba menulis. "Terima kasih, miss," balas Charis sambil sedikit membungkukkan tubuhnya menunjukkan rasa terima kasih dan hormatnya.

  Keduanya lalu meninggalkan ruang guru dan melangkah bersama menuju lobi sekolah yang letaknya berbeda dua gedung. Perjalanan yang cukup lama, bisa dikatakan seperti itu. Butuh waktu lima menit untuk berjalan kesana.

  "Charis gimana? Sudah sehat atau belum?" tanya pria itu, yang berada disebelah kiri gadis yang hari ini rambutnya sengaja diikal sedikit dan terurai indah. Sedikit tidak siap dengan pertanyaan yang diajukan, Charis menjawab sedikit gugup. "Sudah, sir. Cuma sakit biasa," jawab Charis sambil menolehkan dan mendongakkan kepalanya ke sang guru.

  Victorio tersenyum mendengarnya. Lega rasanya bahwa muridnya yang satu ini sudah kembali sehat dan wajahnya terlihat ceria, walau masih sedikit pucat menurutnya. Namun, tidak ada yang perlu ia pikirkan berlebihan mengingat jawaban gadis itu sudah cukup jelas.

  Keduanya tak lama tiba di lobi dan segera masuk ke dalam mobil. "Sir duduk didepan atau belakang?" tanya Charis tepat sebelum naik ke dalam mobil. Victorio menoleh. "Duduk dibelakang sama kamu saja kalau begitu. Ada apa, Charis? Mau duduk didepan?" tanya pria itu. Charis menggelengkan kepalanya.

  Keduanya lalu duduk berdua bersama di kursi belakang. Perjalanan memakan waktu kurang lebih lima belas menit sebelum keduanya tiba di lokasi dimana lomba diadakan; sebuah universitas negeri ternama yang ada di kota tersebut.

  "Charis, sir mau hukum kamu nan-"

   Ia mendapati muridnya itu tertidur pulas sambil bersandar pada pintu mobil. Terlihat lelah dan butuh istirahat yang lebih. Antara tega dan tidak tega dalam memberi hukuman yang dimaksud, Victorio dihadapkan dalam pilihan kedua yang sulit.

  Selain memilih keluarganya atau Charis, pria itu juga harus bisa membedakan urusan pribadi dan profesionalitas. Hal tersulit yang harus dilakukannya karena berkaitan dengan perasaan yang sulit untuk dilupakan dan dikesampingkan.

  Mobil terhenti di depan lobi universitas yang dimaksud. Charis membuka matanya tepat pada saat mobil terhenti, membuat Victorio tak perlu sedikit takut membangunkan sosok ceria namun ketus dalam beberapa waktu dan kesempatan.

  Charis menerima uluran tangan Victorio ketika turun dari mobil mengingat kesadarannya belum penuh seratus persen. Keduanya lalu naik ke aula di lantai empat dan duduk di salah satu kursi yang sudah diberi nama setelah mengambil konsumsi yang disediakan oleh panitia. Acara sudah berlangsung sejak tadi, artinya kedua pasang itu datang sedikit terlambat.

  Baru duduk beberapa menit di kursi berwarna biru itu, sang pembawa acara yang merupakan mahasiswa jurusan sastra indonesia universitas tersebut mengatakan bahwa sesi selanjutnya adalah pengumuman juara menulis esai tingkat SMA. Victorio menoleh ke Charis dan Charis sebaliknya, keduanya saling menatap satu sama lain.

  "Semangat, jangan gugup!" pesan pria itu sedikit berbisik. 

  Charis menunjukkan senyumnya yang sedikit canggung. Pria itu mengusap punggung Charis pelan, menenangkan gadis yang terlihat sangat gugup. Hanya segelintir yang tahu bahwa Charis bukanlah tipe yang suka berada didepan kerumunan orang yang banyak dan juga suara yang keras, ia menghindarinya. Takut, seperti fobia lebih tepatnya.

  "Juara pertama lomba menulis esai jatuh kepada Charis Rostella Daae dari SMA Kent Foreign School,"

  Begitu diumumkan, Charis melangkah sendiri ke depan dengan seluruh mata para tamu dan peserta lain memandanginya. Gelisah, keringat dingin mulai membanjirinya. Kali ini bukan hanya ketakutannya saja, namun demamnya yang sebenarnya belum selesai kembali dan tubuhnya merasa tidak enak.

  Di atas panggung, ia menerima piagam, sebuah kantung kertas berisi hadiah serta sertifikat yang diberikan. Charis menyalami panitia serta dosen dan rektor yang memberikan ucapan selamat kepadanya. Ketiganya berfoto bersama dan juga Victorio mengambil foto muridnya itu dari bawah dengan wajah penuh rasa bangga dan bahagia.

  Charis menyembulkan senyumannya sedikit sebelum dan menatap gurunya itu terus berterima kasih. Setelah turun dari panggung dan langsung kembali ke kursi, Charis sudah merasa tidak enak badan.

  "Bisa, kan? Charis harus bisa ngelawan rasa takutnya, iya. Sekarang kita langsung balik ke sekolah, iya," kata Victorio. Charis menganggukkan kepalanya lemah. Meriang dan menggigil, itu yang dirasakannya saat ini. Pria itu menyadari ada yang tidak beres dengan muridnya yang satu ini.

  "Charis sakit? Kita ke mobil, iya,"

  Dengan cepat, pria itu membawakan hadiah Charis dan membawanya turun dari lantai empat menuju mobil yang sudah terparkir di depan lobi. Didampingi Victorio, Charis beristirahat di bangku belakang, memejamkan mata. Pria itu sesekali memastikan suhu tubuh Charis selama perjalanan sebelum berlari menggendongnya dari mobil ke klinik setibanya di sekolah.

  Dibaringkan gadis itu disalah satu kasur dan diselimuti. "Dok, ini tolong dia demam lagi," ucap Victorio cemas. Perasaannya tidak enak. Terasa ingin mengurus sendiri anak itu melihat dokter dan suster yang ada di klinik bergerak lama dan inkompeten.

This Girl Is Half His AgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang