Xx (X)

173 17 4
                                    


"Dari awal aku mencintaimu memang suatu kesalahan, tapi sekarang aku sadar bahwa kamulah tanda X ku.
Tersimpan lama dan siap memberi kebahagian yang tak terduga."

----Jay Favian----


Terik matahari tak mampu membuat murid-murid ini goyah. Suara pilihan sekolah bernyanyi merdu dengan alunan musik mersing band. Sangsaka merah putih naik perlahan. Rasa nasionalisme tumbuh dalam beberapa saat, walau pada dasarnya tidak begitu terlihat melalui tindakan—begitulah anak jaman now.

Keira menghapus keringat di dahinya dan menghela nafas panjang. Itu akibatnya karena ia terus berada di kamar tercinta—iya, Keira cuma cinta sama kamarnya. Sehingga ia tidak tahan berada di bawah sinar matahari terlalu lama—tipe perempuan yang takut hitam, padahal matahari pagi bagus untuk kulit.

Helaan nafas Keira terdengar lebih panjang lagi saat kelas mereka tidak berhasil menang sebagai kelas terindah dan terbersih. Tapi mereka cukup puas dengan kemenangan Dikta dan teman-temannya di cabor basket. Walau bagaimanapun, mereka masih punya hal yang ingin dibanggakan.

"Udahlah, Kei. Lo udah berusaha melakukan yang terbaik," kata Dina menyemangati.

"Ini pasti karena lukisan gue yang jelek," ucapnya lemah. "Gue ngecewain Bu Aya dan teman-teman gue, Din."

Dina tergelak tawa, "Siapa yang bilang, dari tadi gue gak ada denger mereka ngomong gitu."

"Gue kecewa sama lo, Kei." Zeyn datang entah dari mana dan merusak suasana yang sudah Dina bangun sekuat mungkin, runtuh dengan kalimat itu.

"Ih ... Zeyn." Dina memukul lengan Zeyn. Dan ia malah tertawa setelah melihat ekspresi kelam Keira.

Keira melangkah masuk dan meninggalkan Dina yang sibuk memarahi Zeyn di belakang. Ia terus berjalan sampai ke kursinya. Duduk, diam dan pulang. Eh, belum waktunya! ia duduk, diam dan berusaha menyibukkan diri dengan ponselnya—teman setia dikala mager melanda.

Ocehan perjuangan selama pertandingan basket terdengar begitu menarik. Mereka sibuk membicarakan hal-hal lucu, yang berkesan serta hal yang memorable bagi mereka selama pertandingan. Para siswi juga ikut sebagai pendengar setia.

"Gimana kalo kita ngadain pesta untuk kemenangan kita kali ini." Suara berat itu membuat Keira tidak menoleh sekalipun. Apa yang menarik dengan sebuah pesta?

"Ide bagus tuh. Kita ajak Bu Aya juga," sahut siswa lainnya.

Keira yang tadinya meletakkan kepalanya di pangkuan tangannya, menoleh ke depan saat menyadari seseorang duduk di sana. "Kei lo gak apa-apa?" tanya Dikta.

"Gue gak apa-apa," kata Keira kembali meletakkan kepalanya.

Dikta harus sabar, momentumnya tidak tepat untuk menanyakan perihal kemarin. Keira berada dalam suasana yang tidak baik, lebih baik menunggu daripada nantinya Dikta mendengar kata-kata yang kurang manis.

🌅🌅🌅


Keira mengejar Sisil yang sudah berjalan di depannya. Ia terus memanggil Sisil sambil berharap ia berhenti karena rasanya kaki Keira sudah tidak kuat berjalan cepat. Bagaimana tidak, setelah berdiri hampir satu jam lebih dan sekarang ia harus dipaksa untuk berlari.

Sisil menuruni tangga begitupun dengan Keira. "Maaf maaf," kata Keira saat ia menyenggol orang-orang yang berada di tangga. "Sisil!" panggilnya lagi.

Keira melihat Sisil sudah berada di lapangan, dan ia bisa mengejar. Tinggal beberapa tangga lagi. Tapi Keira melangkah terlalu lebar membuat ia kehilangan keseimbangan dan jatuh—padahal ada sekitar tiga tangga lagi.

Sisil berbalik ketika mendengar suara teriakan Keira. Namun ia kembali pergi saat Dikta datang membantu Keira. "Lo gak apa-apa," kata Dikta, "Makanya hati-hati." Dikta membantu Keira berdiri.

"Gue gak apa-apa," kata Keira kemudian kembali mengejar Sisik. "Sisil!" Bahkan luka lecet pun tak dapat menghentikannya.

Dikta menatap kedua orang itu dengan aneh. Dan merasa kalau Keira mencoba menghindarinya. Seharusnya, ia tidak mengatakan hal itu jika ingin tetap dekat dengan Keira. Tapi perasaannya sudah lama tersimpan dan ia sudah tidak bisa menyembunyikannya lagi.

Keira terus berlari sampai ke parkiran—ke depan motor Sisil. Ia menahan motor itu supaya tidak berjalan—walau percuma juga.

Keira mengumpulkan sisa tenaga yang ada. Ia juga harus mempersiapkan mental jika nantinya Sisil menolak semua perkataan dan pergi dari sana tanpa menemukan solusi dari permasalahan mereka.

"Sil, lo kenapa sih?" tanya Keira dengan nafas yang masih terengah-engah. "Kalo gue punya salah, tolong maafin gue."

"Lo gak salah, gue yang salah karena gue jatuh cinta ama Dikta." Keira cukup kaget mendengarnya, ia tidak menyangka kalau Sisil juga menyukai Dikta. "Sekarang minggir, gue mau pulang." Keira pun minggir agar Sisil dapat segera pergi.

Keira merasa kalau semua ini adalah pertanda bahwa ia dan Dikta tidak boleh bersama. Haruskah se-lebay itu? Apakah hidup memang se-drama itu? Kadang Keira tidak berpikir bahwa ia telah menciptakan dampak yang cukup besar ke teman-temannya. Bisakah ia menghindar dengan memilih pindah sekolah?

Dari awal sudah dapat dipastikan kalau perasaan Keira adalah sebuah kesalahan.

Vote!

Dan biarkan saya tahu, apa yang kalian pikirkan tentang cerita ini 😊

The Hidden Feeling | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang