Yy (You Shouldn't Do That)

181 12 3
                                    


"Kei, lo suka sama Dikta?" tanya Arfan, tatapannya sungguh mengintimidasi. Pertanda bahwa ia sebenarnya tidak senang menanyakan ini.

"Ng-gak, gue gak suk-"

"Jangan bohong." Nada suaranya meninggi membuat Keira mendongak. "Gue udah denger semuanya, lo tahu beberapa hari ini gue gak datangin lo bukan berarti gue nyerah, gue cuma pengen lo merasa gak nyaman kalo gue deketin lo terus. Gue tahu gue gak bisa memaksakan hati seseorang, tapi kalo lo memang suka sama Dikta terus kalian pacaran. Gue akan stop deketin lo, karena bagi gue buat apa susah-susah mencoba mendapatkan hati seseorang jika cela itu tidak ada sedikitpun."

Apa ini? Keira merasa kalau kata-kata Arfan begitu mendalam, ini bukan dirinya yang selalu mendominasi. Ini bukan perkataan memaksanya. Ini hanya sisi hati lembut Arfan yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.

"Lo terlalu berlebihan, gue tetap ngaggap lo teman kok. Kapanpun di mana pun lo mau ketemu sama gue, lo gak perlu sungkan gitu." Entah, perkataan Keira sedikit membuat Arfan lega. Ia pikir Keira akan tertawa setelah mendengar perkataannya tadi yang membuatnya sedikit malu.

Satu senyuman di wajah Arfan, saat bersama Keira ia jadi melankolis begini. Tapi itu memang benar, suasana hatinya berubah hanya dengan menatap Keira.

"Oke, gue masuk kelas dulu." Ia menatap punggung Arfan yang menjauh.

Keira merasa lega, seiring berjalannya waktu, Arfan akhirnya mau menerima. Semua memang butuh proses, baik Arfan maupun Keira. Dan sikap dewasa itu tidak datang dengan sekali kedip, dia tumbuh bersama proses.

Langkah kaki Keira terhenti, ia menatap cowok yang berdiri tidak jauh di depannya. Tatapan Dikta menunjukkan seolah ia tidak mengenal Keira. Asing, kata itu yang terlintas ketika menatap manik hitamnya.

Dikta akhirnya melangkah ke samping masuk ke dalam kelas. Setelah memutuskan kontak mata dengan Keira.

Keira menyusul Dikta ke sana, dengan segala gundah di dalam dada.

Keira duduk tepat saat bel berbunyi, ia menoleh ke samping lalu menoleh ke depan. Rasanya semua orang tengah memojokkannya, bagaimana tidak. Tidak ada satupun dari mereka yang terlihat bahagia, Keira seolah menaruh garam dengan tangan orang lain.

Aduh!

Rasanya perut Keira tidak enak, ia pun bergegas pergi keluar dengan terburu-buru. Tiga pasang mata-Mata Dikta, Zeyn dan Sisil-sempat menatap kepergiannya.

"Keira mau kemana?" tanya Zeyn, "Padahal udah bel loh." Ia berbalik dan menatap Sisil. Sisil yang bingung pun hanya bisa mengedikkan bahu.

"Eh, Ta." Zeyn mendekat ke arah Dikta, "Gimana? Dia nerima lo, 'kan?"

Dikta melirik ke belakang sekilas, "Apaan sih?"

Zeyn menepuk bahu Dikta sambil terkekeh pelan. "Lo gak usah malu gitu, gue udah tahu dari Dina langsung."

"Tahu apa?" tanya Dikta.

"Lo nembak Keira." Sisil menoleh lalu sedetik kemudian kembali menatap bukunya. Saat kedua orang di depannya melirik ke belakang.

"Mulut lo anjir," ucap Dikta pelan.

"Habisnya lo nanyanya nantang gitu, ya gue jawab."

"Pake kiasan kek, biar gak ketara gitu."

Zeyn tertawa kecil, "Sorry deh, jadi gimana, dia jawab apa?"

Dikta menghela nafas lalu menggeleng, "Huh? Dia nolak lo?" Pupil Zeyn membesar begitu juga dengan Sisil. Apa itu benar?

Dikta membekap mulut Zeyn dengan telapak tangannya yang besar. Lalu Zeyn melepaskan tangan Dikta dengan kasar kemudian meludah tanpa mengeluarkan air liur. "Tangan lo bau banget, lo habis eek ya?"

The Hidden Feeling | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang