Mm (Mom's Thoughts)

211 25 4
                                    


Zeyn dan Dina pergi ke sebuah mall. Mereka masuk ke tempat permainan dan mencoba beberapa permainan yang mengasyikkan.

Beberapa kali, Zeyn melihat Dina tersenyum bahagia ketika memukul permainan hewan yang keluar dari lubangnya. Mungkin, nilai bukanlah sesuatu yang perlu mereka khawatirkan. Mereka juga manusia, mereka butuh kebahagian. Seandainya, jika nilai rapor tidak dapat membuat mereka tersenyum. Mereka bisa mendapatkannya dari berbagai hal, termasuk ini. Bermain bersama orang ia cintai.

"Gue seneng banget hari ini," kata Dina. Mereka berjalan keluar dari tempat itu, "Thanks ya?" Ia tersenyum, "gue sebenarnya pusing mikirin nilai gue yang gak naik-naik dari semester kemaren."

Zeyn berhenti membuat Dina berhenti juga. "Udah gak usah dipikirin."

"Aw," Dina memukul lengan Zeyn karena mencubit hidungnya ke kiri ke kanan, "sakit tahu."

Zeyn terkekeh, "habisnya lucu gitu bentuknya. Kek cherry."

"Apaan sih?" Dina masih memegang hidungnya sambil menutup mulutnya. Menyembunyikan rasa malunya.

Zeyn menarik tangan Dina, "udah gak usah pake ditutup segala, kayak sariawan aja."

"Ih ..." Dina menghentakkan kaki ke lantai lalu pergi dari sana.

"Eh, yank, tunggu ..."

Untung saja, Zeyn dapat menyusul Dina yang cuma berjalan cepat. Akan aneh jika berlarian di dalam mall dan menimbulkan kehebohan. Sebenarnya, Dina hanya pura-pura marah. Ia pun mengerucutkan bibirnya sambil memandang ke arah lain saat Zeyn berhasil menyamai langkahnya.

"Mau kemana sih?" Dina masih tidak bergeming. Ia masih tetap berjalan. "Oke oke, gue salah." Zeyn menarik tangan Dina membuatnya berhenti berjalan. "Gue minta maaf."

Dina menahan senyumnya. "Apa yang lucu?" Dina menggeleng pelan. "Jadi, mau maafin gue apa kagak nih?"

"Iya, gue maafin." Senyum Zeyn mengambang seketik.

"Yaudah, yok, gue lapar." Ajak Zeyn. Dina mengangguk.

Mereka berjalan pelan sambil memperhatikan satu dua tokoh disamping mereka. Dina yang awalnya memperhatikan sekitarnya, tiba-tiba saja menoleh ke arah Zeyn. Namun Zeyn hanya mengulum senyumnya saat menyadari Dina memandangnya.

Tangan besar itu dengan sengaja menggenggam tangan Dina. Membuat sang empunya gugup luar biasa. Jantung berdetak lebih cepat, bahkan Dina tidak sanggup berjalan lagi tapi karena Zeyn menggenggamnya membuat Dina harus terus berjalan.

"Zeyn, lepasin," kata Dina. Zeyn hanya masa bodoh dan terus berjalan. "Malu tahu dilihatin orang."

"Kenapa harus malu, gandengan tangan ama cogan. Harusnya kamu bangga dong." Zeyn menoleh dan tersenyum. Astaga, seketika Dina hanya bisa menghela nafas pasrah. Ingin rasanya ia marah, tapi suasana hatinya yang bahagia hari ini membuatnya hanya menghela nafas pasrah. Lagipula, sangat sulit bicara dengan keadaan jantung yang belum stabil.

🌻🌻🌻

Baru saja Keira membuka pintunya. Ibunya sudah datang menghampirinya. Wajar saja ibunya sudah berada di rumah. Ini hari sabtu.

"Kei, gimna?" tanya Ibunya, "mana rapor kamu ibu pengen lihat? Kamu masih dapat juara, 'kan?"

Keira diam, ia harus berkata apa. Tidak mudah mematahkan harapan orang lain terhadap dirinya. Kecewa, pasti. Tapi bagaimana membuat sang ibu mengerti bahwa ia sudah berusaha semampunya.

"Sini, Kei." ibunya mengadahkan tangan.

Keira hanya bisa pasrah. Walau bagaimanapun, ibunya tidak akan pergi sebelum ia melihat rapornya.

Dengan terpaksa, ia mengeluarkan rapor itu dari dalam tasnya. Lalu memberikannya pada ibunya. Disaat yang sama saat ibunya membuka dan membaca rapornya, Keira sedikit menunduk. Ia tahu kalau ia sudah mengecewakan ibunya. Terlihat ketika ia melirik sebentar, senyum ibunya memudar.

"Maafkan aku, bu," kata Keira tiba-tiba.

Ibunya menghela nafas, "Kita duduk dulu."

Dengan langkah pelan, Keira dan ibunya berjalan ke arah sofa warna abu-abu itu. Mereka duduk berdampingan sambil memikirkan sesuatu yang harus mereka bicarakan satu sama lain.

"Aku tahu, ibu kecewa." Keira menatap ibunya yang masih betah memandangi rapor miliknya.

Sejak dulu, Keira selalu mendapatkan peringkat pertama di kelas. Tapi semenjak SMP dan mengenal Dikta. Entah kenapa, prestasi Keira ikut merosot. Keira paham kenapa ibunya berharap ia dapat peringkat karena selama SD, ia hampir selalu mendapatkan peringkat pertama. Mungkin karena itu juga, ibunya selalu beranggapan kalau kali ini Keira juga akan mendapat juara.

Ibunya menggenggam punggung tangan Keira, "ibu tahu, tidak ada orang yang akan sama di setiap harinya, semua orang pasti akan berubah." Ibunya melepaskan genggaman lalu menatap ke depan, "tidak peduli orang itu berubah menjadi baik atau buruk."

Ibu Keira menoleh, "Ibu mohon, jangan pernah berubah menjadi buruk. Kamu satu-satunya harapan ibu, ibu sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Ibu tahu, kalo ibu kesannya memaksa tapi ini semua demi kebaikanmu, demi menjadi orang yang lebih baik dan menyayangi keluarga dan tidak meninggalkan mereka begitu saja."

Keira bisa melihat ibunya sedih mengatakan itu. Terlihat dari matanya yang mulai berkaca-kaca tapi ia mencoba tetap tegar. Dan Keira juga tahu kalau ibunya ingat akan ayahnya yang pergi. Sosok yang seharusnya hadir sebagai penopang semangat Keira di saat sang ibu hanya bisa meluapkan perasaannya.

Ayah pergi dan tidak pernah mengunjungi Keira sekalipun semenjak perceraian mereka. Ia tidak mengharapkan kehidupan seperti ini. Entah kisah apa yang sudah terjadi diantara mereka. Namun, setiap kali Keira mencoba membahasnya. Ibunya enggan untuk berbicara dan memilih bungkam.

"Semester depan aku akan berusaha lebih keras lagi, bu," ucap Keira.

Ibunya mengangguk, "ibu tahu, kamu pasti bisa. Dulu pas SMP kamu juga pernah ngalamin ini, walaupun saat itu sudah kelas 3."

Kehidupan harus berlanjut. Sekarang, hanya ibunya yang Keira miliki. Dan kelak nanti, ia yang harus merawat ibunya. Jadi, selama itu belum terjadi, ia harus menjadi orang yang berguna dan bisa diandalkan. Bisa menyokong kehidupan mereka kelak.

"Sudahlah." ibunya tersenyum, "tidak apa-apa," ucapnya ketika melihat Keira masih sedih dengan hasil rapornya, "ayo kita makan, kamu pasti sudah lapar. Ibu sudah masak rendang tadi."

Keira sangat senang saat melihat makanan berlimpah di atas meja. Tapi senyumnya menghilang begitu saja saat menyadari kalau ibunya memasak untuk merayakan keberhasilannya mendapat peringkat-seperti dulu saat ia masih duduk di SD.

"Ibu hanya ingin tahu, apa ada sesuatu yang menganggu pikiranmu?" Keira berhenti makan dan mengeleng pelan. "Gak ada, masih sih. Apa kau menyukai seseorang."

Keira menatap ibunya, "gak apa-apa, Kei. Ibu ngerti. Masa-masa seperti ini adalah masa-masanya kamu mengenal cinta."

"Iya, ibu," jawabnya pelan sambil memutuskan kontak mata dengan ibunya.

"Kamu suka sama seseorang?" tanya ibunya, "siapa dia? apa ibu mengenalnya? Oh, iya, kamu kan gak pernah bawa temen cowok kamu ke rumah." Keira menelan salivanya-sebenarnya sudah, ibunya tidak ada di sana saat itu.

"Gak, bu. Bukan seperti itu."

Ibunya menghela nafas, "Kei ... cobalah sedikit terbuka sama ibu, apa ibu mesti datang ke rumah Dina untuk nanyain hal begini?" Keira menggeleng.

"Aku gak mau bahas ini, bu. Lagipula dia menyukai orang lain," katanya, kembali melanjutkan makannya. Dan ibunya hanya bisa menatapnya. Ini salahnya karena tidak memperhatikan Keira dan lebih fokus bekerja.

The Hidden Feeling | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang