#8 : PESAN

290 21 2
                                    

[Lanjutan dari part PERANG]

16 April 2018, hari dimana aku harus bangun pagi karena pergi ke Tangerang untuk tugas kerja. Pesawatku terbang jam 6 pagi. Anehnya, dini hari aku bermimpi lanjutan dari mimpiku sebelumnya (part PERANG).

Aku terbangun. Lagi-lagi berada di atas perahu di tengah lautan. Kenapa aku ada disini? Padahal kemarin aku tidur di kamarku, bukan di atas perahu.

"Mia, kok kamu ada di sini lagi?" Suaranya cukup familier. Aku berbalik badan. Sudah kuduga siapa pemilik suara itu: mbak Lia dan rombongan. "Kamu tersesat lagi ya mi?"

Aku menatap berkeliling, memastikan kembali dimana aku berada. Tetap di perahu di tengah lautan luas. "Sepertinya begitu," jawabku pasrah.

Oh ayolah, aku harus terbang ke Tangerang. Aku tidak mau tersesat lagi. Aku harus segera kembali.

"Mbak Lia, aku harus pergi ke Tangerang. Aku harus segera kembali. Pesawatku jam 6 pagi," mohonku.

Mbak Lia hanya menggelek. "Seperti sebelumnya, kita tidak bisa kembali ke Jawa."

"Kemana mbak? Ke pulau itu lagi."

"Iya," jawab mbak Lia dengan semangat.

"Mau perang lagi?" tanyaku khawatir. Kurasa lebih baik terjun ke lautan dan berusaha berenang ke Jawa, daripada harus ikut perang itu lagi. Toh sama-sama berbahaya.

Mbak Lia tertawa. "Tidak, perang sudah berakhir. Kali ini sungguh untuk jalan-jalan. Sudahlah, kamu ikut kami saja."

Aku menatap jam tangan. Jam 6 tepat. Aku terlambat. Pesawatku sudah terbang. Pasrah. Rasanya ingin menangis.

Aku hanya duduk berdiam diri menatap lautan, meratapi nasib.

Kapal kami mulai menepi. Di tempat yang sama. Pulau yang sama. Pasir putih yang sama. Air pantai biru muda yang sama, tapi kini lebih bercahaya kilau. Indah. Mempesona.

Kuambil HP di saku celanaku. Baiklah aku tersesat dan terlambat naik pesawat. Tapi apa salahnya menikmati permandangan ini. Toh sudah terlanjur disini. Kuambil beberapa foto.

Cekrik. Berhasil. Tumben. Biasanya aku tidak bisa foto pakai hapeku.

"Mia, foto-fotonya nanti saja waktu mau pulang. Kita harus pergi ke suatu tempat," kata Mbak Lia.

Buru-buru aku memasukkan hapeku. Baiklah. Daripada aku tertinggal rombongan dan tersesat lagi untuk kesekian kalinya.

Macam dejavu, aku memasuki pepohonan, lalu berjalan di padang sabana. Aku terdiam beberapa saat. Di tempat ini peperangan itu terjadi. Perang dimana banyak korban berjatuhan. Dan penduduk asli pulau ini yang menang, meskipun harus dibayar dengan banyak nyawa. Dulu tempat ini begitu riuh dan mencekam, kini senyap dan damai.

Aku berjalan melewati batu yang cukup besar, batu tempatku berlindungku dulu.

"Mengenang masa perang?" tanya seorang lelaki di rombongan kami. Aku mengangguk. Kembali berjalan mengikuti rombongan.

Akhirnya kami memasuki kawasan penduduk. Terdapat beberapa rumah sederhana modern yang sering aku lihat di Jawa. Beberapa anak kecil berlarian dan bermain hide and seek. Tidak jauh beda dengan suasana perkampungan di pulau jawa.

Tapi ada satu rumah yang menarik perhatianku. Rumah yang cukup aneh: hampir semua bangunan rumah menggunakan kayu, dengan hiasan dan motif yang sangat detail. Pintu dan jendela lebar, kolom kayu yang terukir detail. Rumah yang tidak seperti rumah jaman kini.

LUCID DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang