Chapter 7

13.1K 1.7K 405
                                    

'Orang tersandung jatuh oleh batu yang kecil, bukan batu besar.'

[Psychopat Diary, Vasca Vannisa : hal 253]

♨♨♨

          "Hei!" Sapa Mark begitu Yoojung memasuki gerbang sekolah. Ia benci ketika Mark membuatnya menjadi pusat atensi, namun ia juga tak bisa membenci Mark. Toh, ia hanya bersikap ramah.

Entahlah.

Yoojung hanya diam mengabaikan dan terus berjalan tak memedulikan Mark. Mark mencoba mensejajarkan langkahnya, masih dengan senyum mengembang. "Aku punya sesuatu yang mungkin akan membuatmu tertarik." ucapnya semangat. Yoojung mengangguk masih dengan mulut tertutup rapat. "Serius, kau ingin mendengarnya."

"Hanya, katakan saja. Aku mendengarkan." 

Mark tersenyum lebar. mereka berdua masuk ke dalam kelas. Sementara Yoojung duduk di bangkunya sendiri, Mark memilih untuk duduk di bangku sebelah Yoojung yang sebenarnya bukan bangku miliknya. "Tidak sekarang. Aku akan memberitahumu jika kau mau ikut ke suatu tempat bersamaku."

Pergi bersama Mark berarti seakan Yoojung mengiyakan ajakan berteman Mark. Ah, atau sebenarnya tanpa ia sadari ia sudah berteman dengan pemuda bermarga Lee ini. Lagipula Yoojung juga penasaran akan apa yang ingin Mark tunjukkan. Padahal dalam buku yang ia baca, rasa penasaran bisa membunuhmu.

Oh, oke. Dia terlalu berlebihan. Tak ada yang akan terjadi. Efek sering membaca buku thriller, horror membuatnya paranoid barangkali. 

"Oke." jawab Yoojung singkat sontak membuat Mark berseru senang. 

♨♨♨

          Paman Jaesok menelponnya barusan tepat ketika bel pulang sekolah berbunyi. Karena Yoojung tinggal sendirian, Paman Jaesok yang bekerja sebagai detektif mengkhawatirkannya. "Jangan pulang larut malam, jangan pergi ke tempat sepi sendirian, selalu bawa alat untuk melindungi diri dalam saku." pesannya yang bagi Yoojung, Paman Jaesok terlalu berlebihan.

Ia juga tahu kasus pembunuhan berantai yang terjadi di Busan belakangan ini. Mengerikan memang dan Paman Jae khawatir jika Yoojung mengalaminya meski di Seoul. "Tidak ada yang tahu kapan kejahatan itu terjadi dan dimana itu terjadi, Yoo." ujar Paman Jae sebelum memutuskan telpon.

Yoojung mendesah. Ya, apapun itu, tentu saja Yoojung akan berhati-hati. Pastinya. Terlebih teror foto polaroid dirinya dan juga yang mengerikannya lagi serangan di dalam kamar apartemen 127 tempo hari yang ia alami. Bagaimana bisa Yoojung mengabaikan nasihat Paman Jae?

Mark datang menepuk pundaknya tiba-tiba. Yoojung menoleh menatap Mark yang selalu dengan senyum terkembang lebar. "Ayo!"

Waktu telah menanjak pada petang hari. Langit mulai nampak gelap begitu Mark membawanya ke sebuah gudang yang berada jauh di belakang gedung sekolah. Setahu Yoojung, ruangan ini sudah bertahun-tahun lamanya tak digunakan lagi oleh sekolahan. Karena letaknya berada sangat jauh dari ruangan lainnya dan terpisah masuk ke dalam hutan kecil buatan  SMA Jaeil.

Mark mengeluarkan sebuah kunci dan membuka pintu gudang tersebut. Dari luar, gudang ini tampak sekali tidak terawat dengan tumbuhan liar yang mulai merambati dinding yang kusam. Namun semua tampak berbeda begitu ia masuk ke dalam. Di dalam ruangan kecil ini, Mark telah merapikannya sedekimian rupa sehingga nampak seperti studio kecil milik Mark.

"Apakah kau boleh menggunakan ruangan ini oleh sekolah?" tanya Yoojung sembari mengamati seisi ruangan.

"Tentu. Jika kau tidak ketahuan semua akan baik-baik saja."

APARTMENT 127 [SUDAH TERBIT - PREORDER DIBUKA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang