[Kau mendengar suara langkah kakiku? Aku berjalan tepat di belakangmu.]
◾◽◾
Yoojung tak tahu kemana semua paket-paket yang ia simpan. Dua paket berisi puluhan foto polaroid dirinya dan paket ketiga berisi handphone ayahnya beserta ancaman yang menyertainya. Bibi Baek pun tak tahu menahu soal tersebut. Ia terus berada di dapur seharian dan belum sekalipun masuk ke dalam kamar Yoojung.
Mark menyentuh pundak Yoojung menenangkan. Gadis itu terlihat panik sekali. "Aku sungguh menaruhnya disini." Lirih Yoojung menunjuk barisan terakhir lemari pakaiannya.
"Baiklah-baiklah, tapi kau tenang dulu." Mark menarik Yoojung duduk kembali ke atas ranjang. Menyingkirkan anak rambut Yoojung dan menatap dalam gadis itu. "Coba pikirkan dengan tenang. Mungkin saja kau memindahnya ke suatu tempat."
Yoojung menurut. Terdiam sesaat, namun menggeleng kemudian. "Tidak. Aku tidak pernah memindahkannya. Aku.." keningnya berkerut. "Jangan-jangan... seseorang..." mata Yoojung mulai berkaca-kaca lagi. Kekhawatirannya kembali memuncak. Rasa takutnya semakin menjalar dalam benaknya.
"Hey.." Mark menegurnya, menggenggam erat lengannya. "Jangan khawatir. Ada aku disini."
"Paket itu tak ada Mark.. hiks.. hiks.. seseorang pasti telah mengambilnya. Penguntit itu pasti sudah masuk ke dalam kamarku!" Yoojung kembali terisak dan untuk kedua kalinya Mark menarik Yoojung dalam pelukannya.
Tangan kekar Mark mengusap punggung Yoojung, menenangkan. "Tenanglah. Aku ada disini. Aku akan membantumu, huh? Oleh karena itu, tenanglah dan ceritakanlah semua yang kau tahu padaku."
---
Yoojung akan mempercayai Mark. Tak ada seorangpun lagi di Seoul yang bisa ia percayai. Menceritakan seua yang ia alami pada Mark sedikit membuatnya merasa aman. Kehadiran Mark malam itu di kamarnya, memeluknya, seakan memberitahunya bahwa ia masih memiliki harapan. Meski ia ta ingin mengangkat harapan begitu tinggi setidaknya ada secercah cahaya untuk menyelamatkan ayahnya.
Yoojung tak peduli jika ia terluka pada akhirnya. Yang terpenting adalah ayahnya selamat. Ia memang membenci ayahnya. Sangat.
Namun rasa benci sangatlah beda tipis dengan cinta. Sebenci apapun ia dengan ayahnya, Kim Kangjoon tetaplah sosok ayah yang pernah menggendongnya bak pesawat terbang saat kecil. Tertawa bersamanya. Meski pada akhirnya ketika ia beranjak remaja kehangatan ayahnya menghilang entah kemana. Namun kenangan itu tetap menghangatkan hatinya.
Mark memulai langkah dari mendatangi apartemen Sujeong tempat sosok pemuda asing kenalan Ten tinggal. Bersama Yoojung mereka menaiki lift yang membawa mereka naik ke lantai 4 gedung apartemen Sujeong.
"Benar nomor 303?" tanya Mark memastikan. Yoojung mengangguk berdiri di balik punggung Mark.
Telunjuk Mark menekan bel apartemen. Yoojung bilang seseorang disana mengetahui namanya entah bagaimana. Dan orang tersebut sepertinya memiliki hubungan dengan Ten lantaran Ten pernah berkunjung kemari.
Namun setelah beberapa kali ia menekan bel apartemen tak ada seorangpun yang datang. Sejurus kemudian seseorang yang tinggal di apartemennya keluar. Seorang wanita berumur 30 tahunan keluar dari dalam apartemennya dan menatap bingung Mark maupun Yoojung.
"Permisi, apakah anda tahu siapa orang yang tinggal disini?" tanya Mark menghentikan langkah wanita tersebut.
Si wanita mengernyitkan dahinya. "Tapi, apartemen itu kosong. Tidak ada yang menghuninya selama beberapa bulan."
"Ya?" Yoojung dan Mark serempak mengernyitkan dahi bingung.
---
"Kau yakin kau melihat Ten masuk ke apartemen itu dan juga melihat seorang pria lain keluar dari sana?" tanya Mark sembari menyodorkan botol mineral pada Yoojung. Mereka berdua kini duduk di bangku yang terletak di depan gedung apartemen, memperhatikan lalu-lalang orang-orang yang melewati mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
APARTMENT 127 [SUDAH TERBIT - PREORDER DIBUKA]
Fiksi Penggemar[COMPLETED] "Terkadang meski aku merasa takut dan mengatakan jangan, tubuhku akan melakukan yang sebaliknya." Ada sebuah apartemen kosong tepat di depan pandangan Yoojung. Setiap malam ia akan melihat sinar putih di dalam apartemen tersebut. Aparte...