Chapter 16 : About Erina

80 22 29
                                    

Pagi harinya, aku mendapati Erina sedang termenung menatap langit. Tak seperti biasanya, ia terlihat sangat lemas hari ini. Tak ada senyum di wajahnya, ia bahkan tak berniat menyapaku.

"Erina...." Aku menepuk bahunya dengan pelan.

"Tinggalkan aku sendiri." Ia sedikit menggertak. Aku menautkan alisku saat mendengar kata-katanya. Ke mana perginya Erina yang kukenal?

Sejenak, aku terdiam. "Jangan sampai telat ke kelas," pesanku sambil meninggalkannya sendirian.

Usai bersiap-siap, aku langsung menuju ke kelas. Tak seperti biasanya, kelas masih sangat sepi. Tak ada seorang pun yang mengisi ruangan sepi tersebut. Aku memutuskan untuk menunggu saja di kelas, mungkin sebentar lagi seseorang akan datang.

Aku kembali memikirkan perkataan Erina kemarin. Memang terdengar bodoh, namun aku seharusnya menghargai ucapan Erina. Ia berubah karena aku. Semua yang terjadi padanya adalah salahku. Kalau bukan karena balasan yang kuberikan, ia mungkin masih saja ceria seperti biasanya.

"(L/n)-san? Kau melamun?" Suara Eiji membuatku tersentak. Aku buru-buru menggeleng dengan raut wajah yang masih kebingungan.

Eiji tersenyum lembut. "Kau sudah melihat pengumuman yang dipasang kepala sekolah?" tanyanya lagi.

"Pengumuman apa?"

Eiji meletakkan buku yang dibawanya di atas meja sambil berkata, "Pengumuman soal liburan ke sebuah pulau yang bertujuan untuk mencari pasangan yang akan diajak pada ujian akhir nanti."

Aku mengangguk paham mendengar penjelasannya. "Sungguh membuang waktu," komentarku.

Eiji mengangkat bahunya. "Aku juga merasa begitu, tetapi ini keinginan dari kepala sekolah." Ia terdiam sejenak, membiarkan kicauan burung menjadi satu-satunya yang terdengar di ruangan tempat kami berada. "Soal ujian akhir itu...." Eiji memainkan jemarinya sambil bergumam pelan.

"Hm?"

"Apakah kau mau menjadi pasanganku saat ujian akhir nanti? Kurasa ... lagumu sudah sangat cocok dengan keinginanku." Ia mengusap tengkuknya pelan. Bisa kulihat dengan jelas rona merah yang menghias wajahnya.

"Aku belum memikirkan soal pasanganku ... akan kuputuskan nanti." Mendengar jawabanku, Eiji menjadi sedikit kecewa. Namun, ia tetap menyematkan senyum kecil sebelum duduk di tempatnya.

"Aku akan menunggu jawabanmu, (l/n)-san," katanya seolah memperingatkanku.

Aku tidak membalas perkataannya. Lima belas menit kemudian, kelas sudah penuh dengan murid. Namun, masih tak bisa kujumpai Erina di ruangan tersebut. Bahkan sampai pelajaran selesai, ia masih tidak tampak.

"Apakah Matsumoto-san sakit?" tanya Eiji. "Aku tidak melihatnya dari tadi."

Aku menggeleng. "Ia terlihat lesu tadi pagi, namun aku sama sekali tidak menyangka ia akan bolos." Kuutarakan pendapatku dengan terus terang.

"Sebaiknya, kau segera menemuinya. Mungkin ia membutuhkanmu, (l/n)-san." Eiji mengecek ponsel miliknya dan segera pergi.

Mengingat pertikaianku dengan Erina, aku jadi enggan melihatnya. Ia juga tidak ingin melihatku, 'kan? Kuputuskan untuk pergi ke perpustakaan saja untuk mempelajari beberapa materi yang belum kupahami.

Aku menyusuri lorong perpustakaan yang dilengkapi dengan cahaya lampu redup. Kemudian, langkahku terhenti tatkala melihat sebuah buku bersampul putih sederhana. "Silentrella...." Kuperhatikan jelas-jelas judul yang dicetak dengan warna hitam tersebut. "Buku ini benar-benar ada ... kukira itu semua adalah karangan...." Kuletakkan kembali buku tersebut pada tempatnya.

Rasa sesak memenuhi pikiranku setelah menemukan buku tersebut. Terbayang kembali wajah Erina yang datar tanpa ekspresi. "Aku yang salah...," ringisku dalam diam. "Aku harus segera menemuinya...."

Tetapi, satu masalah kembali hadir di hadapanku. Di mana Erina sekarang? Aku tak punya pilihan lain. Kakiku terus bergerak, melewati lorong yang dipenuhi dengan murid Saotome Academy. Kulawan gengsi dan perasaan tak ingin meminta maaf yang menetap dalam diriku. Dan dalam hitungan detik, kubuka pintu yang membatasiku dengan kamar. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada Erina di sana.

Embusan angin lembut dari jendela yang tidak tertutup mampu membuka buku ungu muda yang terletak di atas meja Erina terbuka. Aku sangat mengenali buku tersebut. Sebuah jurnal yang senantiasa dibawa Erina. Tidak mungkin benda penting seperti itu ditelantarkannya seperti ini.

Segera saja kuambil buku tersebut dan kulihat isi halaman terakhirnya.

Aku tahu aku tak bisa bahagia. Tetapi, aku ingin membuat orang lain bahagia. Cukup aku saja yang mengalami penderitaan ini.

Tiga kalimat sederhana itu ditulisnya dengan sebuah pen berwarna merah. Penulisannya penuh dengan tekanan. Sampai-sampai tulisan Erina membekas pada halaman sebelumnya. Dapat kusimpulkan Erina menuangkan semua emosinya di sana. Tetapi entah mengapa, bukan amarah yang kurasakan dari tulisan tersebut, melainkan keputusasaan.

Kata terakhir yang ditulis dengan tipis dan tidak niat. Aku dapat merasakan Erina telah kehilangan hal terpenting dari dalam hidupnya, orang yang bisa dibahagiakannya.

"(Y/n) chan...?" Suara itu adalah suara Erina. "(Y/n)-chan...?" Ia mengulangi, kali ini suaranya terdengar lebih ramah dan bersahabat.

Kuberanikan diri untuk berbalik dan menatapnya. Erina tersenyum polos, seolah yang terjadi kemarin hanyalah mimpi. "Kau dari mana saja...?" Aku bertanya padanya. Sejujurnya, aku begitu takut ia akan menjadi pribadi tak ramah seperti yang sempat kulihat. Dengan semua pemikiran buruk yang dibuang, kubiarkan pertanyaan itu terlontar.

"Aku tidak enak badan tadi," jawabnya sambil menggaruk kepala. "Jadi, aku pergi ke ruang UKS." Tak lupa kekehan tanpa dosa ikut dikeluarkannya.

Aku memandangnya dengan tatapan kecut. Menyadari ekspresi tersebut, Erina hanya menampilkan senyumannya. "Maaf kalau hal itu membuatmu khawatir." Ia mendekatiku. Pandangannya menyapu ke arah luar jendela, seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Aku tidak khawatir, kok," sangkalku sambil memalingkan wajah.

Erina mengambil buku miliknya, kemudian memeluknya erat-erat. "Jangan mengacak-acak buku orang, (name)-chan. Siapa tahu mereka tidak menyukai hal tersebut." Erina mengatakan hal tersebut dengan santai, kemudian mengacungkan jari telunjuknya ke arah halaman sekolah yang luas. "Itu Nagi dan Eiji, 'kan?" tanyanya memastikan.

Aku mengangguk sebagai tanggapan. Kulihat keduanya sedang duduk di kursi seraya menyantap bekal masing-masing. "Mereka akrab ya...."

Erina mengulas senyum jahilnya seraya mendorong bahuku pelan. "Cemburu, ya?" godanya seraya menyipitkan mata.

Sontak, aku langsung memalingkan wajah yang mulai memanas. "T-tidak kok," sangkalku sambil menggeleng.

Erina menautkan jemarinya, kemudian menyandarkan punggung ke dinding. Sesekali, ia menatap ke arah luar, memandangi Eiji dan Nagi yang masih menikmati makan siang mereka.

Selama lima belas menit penuh, ia terus melakukan hal tersebut. Sementara itu, aku justru duduk di atas kursi, membaca-baca novel kepunyaan Erina. Sampai akhirnya, ia menyatakan hal tersebut, kalimat yang tak pernah kusangka sebelumnya.

"(Y/n)-chan, aku suka Eiji."

Aku mengangkat sebelah alisku tatkala mendengarnya. Buku yang sedang dibaca kini terabaikan begitu saja. Aku menatapnya seolah tak percaya. "A-apa?"

"Aku ... suka Eiji...."

-To be Continued-

09/05/18
Edisi niat update. Ya ampun dah berapa bulan ga lanjut ceritanya XD
Maafkan saya kalo ada typo

With love,
HoshiPhantomhive

Silentrella || Otori Eiji X Silent!ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang