Chapter 20 : Pertemuan Terakhir

133 16 6
                                    

Kepergian Eiji pada darmawisata itu bukanlah akhir dari kisahku. Nyatanya, ia berjanji untuk datang kembali. Aku tidak tahu pasti kapan ia akan datang dan di mana aku bisa menemuinya, tetapi aku percaya seorang Otori Eiji pasti menepati janjinya.

Berpedoman pada hal tersebut, aku akhirnya dapat menjalani sisa-sisa hari di Saotome Academy, meski merasa sangat kesepian karena Erina belakangan ini sangat sibuk.

Ditambah lagi, Nagi yang dikabarkan hilang setelah Eiji dikeluarkan dari Saotome Academy. Aku kembali merasa sangat kesepian, walau Erina tetap saja berbicara denganku. Tak jarang juga, ia mengajak Takayama Shinji—yang tadinya teman sekamar Eiji. Namun, semua memang terasa sangat berbeda. Hariku yang selalu diwarnai dengan senyum bak malaikat dari pemuda berambut cokelat muda itu seketika hilang.

Setiap murid semakin sibuk kala ujian akhir mendekat. Mereka juga kerap terjaga sampai larut malam demi mempersembahkan yang terbaik. Sedangkan aku ... hanya tinggsl menunggu waktu.

Hari kedatangan Eiji yang sangat kutunggu akhirnya tiba. Ia datang kembali, sehari sebelum ujian akhir dilaksanakan. Aku tidak menyadari kehadirannya jika Erina tidak berlari ke kamar dan berteriak kepadaku, “Eiji! Ia kembali. Di perpustakaan.” Napas gadis bermarga Matsumoto itu terengah-engah. Beberapa bulir keringat mengucur dari dahinya, menandakan ia baru saja berlari dari perpustakaan sampai ke kamar—kebetulan jaraknya cukup jauh.

Malam itu, tepat pukul sembilan malam. Sebenarnya, aku tidak ingin pergi ke perpustakaan karena hari sudah larut. Namun, keinginan untuk bertemu Eiji dan dorongan dari Erina cukup untuk membangun keberanianku. Aku berjalan mengendap-endap, takut akan suara langkah kakiku yang mungkin saja membangunkan murid lain. Perpustakaan yang jarang sekali kudatangi terasa sangat jauh akibat rasa gugup yang menghantui pikiran.

Kala aku membuka pintu perpustakaan, tak kutemukan sosok Eiji di sana. Dari balik kacamata dengan bingkai segiempat, iris biru milik sang pustakawan melirik tajam ke arahku. Buku yang sejak tadi ia baca kini diletakkan di atas meja. “Apa yang kauinginkan?” tanyanya penuh selidik, seolah aku ini adalah pencuri yang ingin membobol bank.

“A-Anu....” Aku tergagap. “Mencari barangku yang tertinggal di perpustakaan.” Jawaban payah itulah yang akhirnya keluar dari bibirku.

“Nak....” Ia melepaskan kacamatanya, lalu memijat kening. “Kau bahkan tidak pernah ke perpustakaan sejak ... dua minggu yang lalu.” Ia membuka buku besar lainnya yang berisikan nama pengunjung perpustakaan.

Balasan dari pustakawan berambut hitam itu sungguh membuatku tak berkutik. Ia yang bermulut tajam dan dapat mendeteksi kebohongan sedikit apa pun. Aku dibuat menyerah olehnya. “Ia ingin membantuku mencari barang yang ketinggalan.” Dari belakang, kudapati sosok Erina yang memberi alasan. Sang pustakawan kembali menelusuri buku besar yang dipegangnya, kemudian mengangguk, memberi izin bagi kami untuk masuk.

Erina segera mendorong tubuhku tanpa memedulikan tatapan heran dari sang pustakawan. “Cepat cari Eiji,” suruhnya terburu-buru. “Di sekitar rak buku yang memuat tentang sejarah musik.” Ia menunjuk salah satu rak yang terletak di belakang dan sangat terpencil. Aku segera mengangguk, mengikuti arahannya—karena tidak tahu harus melakukan apa lagi.

Baru saja aku berjalan, sepasang tangan sudah menarikku. Aku hendak menjerit, tetapi ia sudah menutup mulutku dengan salah satu tangannya. “Tenang, (l/n)-san. Ini aku, Otori Eiji.” Ia berbisik tepat di telingaku, nyaris membuat bulu kudukku berdiri akibat napasnya yang mengenai indera pendengaranku.

Aku mengacungkan ibu jari, tanda mengerti. Ia segera melepaskan tangannya, lalu mengusap tengkuk. “Maaf bila terkesan kasar. Aku takut kau tiba-tiba menjerit.”

Aku tersenyum kala mendengar suaranya yang menenangkan. Inilah sesuatu yang sempat menghilang dalam keseharianku dan akan kembali hilang dalam hitungan menit, sosok Otori Eiji. Aku tidak dapat berucap satu kata pun kala dihadapkan dengannya. Bibirku serasa membeku, entah karena apa. “Aku benar-benar merindukanmu, (l/n)-san. Padahal, kita baru saja berpisah untuk sesaat. Aneh sekali, ya?” Ia tertawa canggung, berusaha terlihat tegar.

Aku menyandarkan punggung di rak buku. “Apa kau harus pergi? Tidak bisakah kita tetap bersama?” Tanpa basa-basi, segera saja kuucapkan pertanyaan yang selama ini mengganjal hati. Kedua mataku kembali berair kala mengucapkan hal tersebut. “Kumohon jangan pergi. Aku benar-benar membutuhkanmu. Aku mencintai—“

Perkataanku terhenti kala Eiji menarikku ke dalam pelukannya. Namun dalam sekian detik, ia segera melepaskannya. Telunjuknya terletak di bibirku, menyuruhku untuk tetap diam. “Kau masih ingat peraturan Saotome Academy, ‘kan? Jangan melanggarnya.” Ia mengulas seutas senyum sendu.

“Aku tidak peduli lagi, aku sangat men—“

Ia menggeleng, memotong perkataanku untuk yang kedua kalinya. “Tidak perlu mengatakannya, (l/n)-san. Aku sudah paham.” Ia menepuk punggungku kala menyadari air mata mulai terjatuh dari kedua netraku.

Aku menepis tangannya dengan segera. Perlakuannya yang sangat baik justru membuatku semakin sulit untuk melepaskannya. “Hiburan saja tidak cukup, Eiji. Aku butuh kau, sungguh membutuhkanmu. Bukan hanya suaramu, bukan hanya senyuman ataupun masakanmu. Aku butuh seorang Otori Eiji dengan segala yang ada di dalam dirinya untuk mengisi kekosongan pada hatiku.” Aku menunduk, menyembunyikan wajahku yang sudah basah akibat air mata.

“Akhirnya kau mengatakan hal itu.” Ia menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya yang hangat. “Tetapi, kau harus mengerti situasi, (l/n)-san. Untuk sekarang, aku akan pergi.” Entah mengapa, kalimat tersebut dapat menyulut kembali harapanku yang sempat padam.

Aku menggenggam kedua tangannya, terasa begitu nyaman, bagai tangan Ibu. “Apakah kita akan bertemu suatu hari nanti?”

Eiji mengangkat bahu, tanda tidak tahu. “Jika takdir berkehendak, mungkin kita dapat bertemu lagi.” Ia melepaskan kedua tanganku, kemudian mengambil koper yang sejak tadi ia abaikan. “Meskipun kita tidak bertemu sekalipun, aku akan tetap mencintaimu, (l/n)-san.” Senyum yang ditunjukkannya saat itu ... kelak aku tidak akan melupakannya. Dia yang dikenal murah senyum, tetapi senyumannya malam itu, jauh lebih indah dan berharga dari yang lainnya.

Malam itu, aku hanya bisa melihat punggungnya yang semakin lama semakin menjauh, sampai akhirnya lenyap di balik rak buku yang menjulang. Hatiku serasa dipilin kala sosoknya tak dapat lagi kulihat. Baru kali itu, aku mengalami sebuah perpisahan yang mampu membuatku menangis seperti anak kecil. Erina berusaha menenangkanku, tetapi tidak bisa. Karena sesuatu yang telah menjadi harta karun berhargaku kini sudah tidak ada.

Dan harta karun yang paling berharga itu bernama Otori Eiji, seorang pemuda yang berhasil membuatku—si gadis cuek tanpa ekspresi—jatuh hati kepadanya.

-End-

Author's Note :

Dengan ini Silentrella dinyatakan tamat.
Akan ada satu part tambahan yang isinya curcolan dari Hoshi dan mungkin promo buku baru.

Mulmednya perpus sekolahku btw www--

Dan untuk kalian yang mau tanya-tanya sesuatu, silakan komen di sini.
Pertanyaannya seputar Silentrella, ya. Kalian juga boleh nanya perasaanku selama bikin buku ini xD

Salam angst,
HoshiPhantomhive

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Silentrella || Otori Eiji X Silent!ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang