Verlyn #3

55 14 0
                                    

Alat ukur kebahagiaan? Cinta? Iya! Cinta dari papa. Satu-satunya lelaki yang tidak pernah menyakitiku. - Verlyn


***

"Yemaaaa!!"

"Rinaaaa!!"

Verlyn berteriak memanggil dua asistennya. Pagi ini moodnya benar-benar sedang tidak bagus. Dan itu berarti akan berdampak buruk juga kepada semua orang. Jangan khawatir mereka terbiasa mendengar Verlyn berteriak galak. Tapi mereka dengan sabar menghadapi sikap Verlyn. Yema dan Rina mengenal betul siapa itu Verlyn.

"Iya mbak Lyn ada yang bisa kami bantu?" Rina terlihat panik begitupun Yema. Napasnya tak beraturan, dua gadis itu berlari menuju ruangan Verlyn.

"Barusan ada customer yang komplain. Dia bilang bunganya layu saat dikirim. Tidak sesuai pesanan. Siapa yang bertanggung jawab?" Tanya Verlyn sedikit galak. Sejak pagi moodnya sudah jelek. Bukannya dia dapat melampiaskan amarahnya, tetapi malah dia mendapat omelan dari pelanggannya.

"Maaf mbak atas nama siapa ya?" Yema sedikit takut jika menghadapi Verlyn saat moodnya sedang tidak baik.

"Atas nama Gisella," ucap Verlyn agak lembut. Dia sebenarnya tidak tega jika harus memarahi Yema ataupun Rina. Selain asisten, mereka sudah dianggap sebagai sahabatnya sendiri.

"Maaf mbak saya yang bertanggung jawab. Tapi kemarin saya mengantar bunganya sesuai dengan pesanan. Satu bucket bunga mawar putih. Tapi saya sudah benar kok mbak saya berani tanggung jawab." Rina merasa sangat bersalah. Verlyn tersenyum menatap kedua asistennya.

"Gakpapa, saya minta maaf sudah kasar. Mood saya lagi down. Gisella sudah saya minta datang kesini untuk mengganti bunganya. Tolong ya nanti layani dia dengan baik." Senyum Verlyn masih mengembang. Rina dan Yema ikut tersenyum dan mengangguk. Kemudian mereka pamit melanjutkan pekerjaan.

Verlyn menghempaskan tubuhnya ke sofa dipojok ruangan. Melemaskan otot-otot tangannya yang terasa sedikit pegal. Lalu memijit pelan pelipisnya.

"Duh ini kenapa sih gue pengen marah-marah rasanya. Nggak tega juga sih kalo harus marahin Rina sama Yema." Verlyn masih memijit pelan pelipisnya. Sesaat kemudian ia teringat Reno, pria yang terus tersenyum jika Verlyn berteriak marah.

Dengan Refleks tangannya mencari ponsel disakunya. Tidak ada satupun notifikasi. Dia mendengus sebal. Jika diperlukan kemana pria menyebalkan itu? Eh tunggu. Apa barusan? Verlyn memikirkan Reno? Tidak tidakk. Verlyn hanya ingin melampiaskan kekesalannya saja. Tidak lebih dari itu. Tidak.

Ponsel Verlyn berdering dengan gerakan cepat Verlyn melihat layar ponselnya. Kemudian sedikit kesal bukan orang yang dia harapkan yang menelepon.

"Halo Va?" Sapa Verlyn dengan sedikit malas.

"Lo kenapa Lyn? Kayak gak semangat gitu? Lo sakit?" suara Zeva terdengar khawatir. Verlyn terkekeh, sahabatnya memang selalu mengkhawatirkan kondisinya.

"Apaan sih lo Va, gue cuma lagi nggak mood aja nih." Ucap Verlyn sambil meluruskan kakinya, lalu ia bersender pada sofa. Mencoba memejamkan matanya.

"Yah Lyn kirain lo kenapa. Gue khawatir tauu," Ada kelegaan dari suara Zeva.

"Its okay Va, gue nggakpapa. Kenapa lo pagi-pagi udah telfon gue?" Verlyn membuka matanya. Tangannya meraih minyak kayu putih di meja disampingnya. Verlyn merasa sedikit pusing.

"Gue mau cerita Lyn." suara Zeva melemah.

"Kenapa Va? Lo nggak lagi berantem sama Yugo kan? Bentar lagi kalian nikah loh. Masih aja berantem-berantem kayak anak abg." bukannya menghibur Verlyn malah menceramahi Zeva.

VERLYN [COMPLETE] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang