01 || Mading

1.1K 49 4
                                    


Netra berwarna cokelat gelap itu mengikuti kata demi kata pada rubrik khusus opini yang terpampang jelas pada mading sekolah. Raut wajahnya berubah kelam, muram. Tangannya terkepal. Tak pelak, hal itu membuat orang-orang di dekatnya menjaga jarak.

Dirobeknya dua artikel yang habis ia baca. Tangan meremas, membuat kertasnya serupa bola. Matanya kemudian memindai kolom susunan redaksi, nama-nama yang bertanggungjawab atas semua artikel yang dipajang.

Kumpulan cewek lain berbisik, mengabsen semua masalah yang telah dibuatnya. Kemarin baru saja bertengkar dengan salah satu siswi yang sering dianggap kompetitornya. Kini mereka bertanya, apalagi? Menambah daftar kekacauan yang dibuatnya setelah minggu lalu berurusan dengan BK? Mengimbuhi citra buruk yang seolah sudah tertulis jelas di samping gemilang pencapaiannya terdahulu?

Elva Ariana, juara kelas, siswi berprestasi pemenang olimpiade, menjabat sekretaris OSIS, patuh aturan dan tak pernah membantah dogma, yang hidup dalam definisi sempurna standar masyarakat tentang Pelajar Baik-baik. Sayangnya, semua itu tinggal nama. Elva telah melepas semuanya. Kini, ia menjadi definisi terbaik Pelajar Gagal Penuh Masalah. Langkahnya begitu jelas, melewati koridor penuh siswa-siswi yang sedang bercengkerama.

Tepat pada pintu dengan plang tertulis Redaksi Aksara, tanpa repot-repot mengetuk, Elva membuka—ups, membanting pintunya. Keras tanpa rasa sopan. Beberapa pasang mata mau tak mau menaruh atensi mereka pada Elva. Satu-dua mengernyit, bertanya-tanya siapa yang tak tahu malu menyelonong ke ruang redaksi.

Seorang cewek berambut pendek sepundak menghampiri Elva. Keheranan berganti rikuh kala melihat raut wajah Elva yang tidak sedikit pun menampakkan senyum maupun itikad untuk berbasa-basi. Segera cewek itu bertanya, "Ada apa ya, Kak?"

"Siapa yang bertanggungjawab atas penerbitan setiap artikel di mading?" Elva bertanya, kendati telah mengigat nama-nama pada susunan redaksi. Tatapan matanya menusuk, memandang setiap orang yang berada pada ruang itu.

Ruangan terdiam, kursi berderit digeser kala salah satu cowok berkacamata berdiri dari duduknya, mendekat ke arah Elva.

Si Pemred, ujar Elva dalam hati.

"Dia Pemimpin Redaksi." Dan benar, hal itu dikonfirmasi ucapan cewek di hadapannya.

"Apa mading sudah berubah menjadi terbitan artikel gosip?" Tak buang-buang waktu, Elva melempar remasan artikel yang ia ambil dari mading ke arah Ketua Klub Jurnalistik. "Emang, seenggak bermutu itu mading sekolah?"

Jelas, perkataan Elva telah menyinggung semua anggota Klub Jurnalistik. Mereka memberi tatapan marah dan terganggu, tak terkecuali Arga si cowok berkacamata sebagai Ketua Klub Jurnalistik juga Pemimpin Redaksi. Bukan hanya telah mengejek kualitas terbitan Redaksi Aksara, Elva secara tidak langsung telah meremehkan kinerjanya sebagai penanggungjawab Klub.

"Maaf, apanya yang salah dari artikel itu," ujar Arga, mencoba tak terpancing. "Bisa kamu jelaskan?"

"Kalau kamu memang penanggung jawabnya harusnya kamu tahu di mana letak kesalahan artikel itu!"

Dibukanya remasan artikel itu oleh Arga.

"What's hot? Plagiarisme siswi yang mempermalukan sekolah?" Elva menyebutkan salah satu judul pada rubrik opini. Senyumnya melecehkan. "Oh, dan jangan lupakan rubrik Berita Minggu Ini, 'Bintang Padam dan Korelasinya dengan Reputasi Sekolah'. Dan siapa modelnya? Fotoku di situ! Dan bahkan bila kalian nggak mau repot-repot menambahkan fotoku, orang-orang juga bakal tahu siapa yang dimaksud," tekannya tajam. "Dan apa kalian merasa isi artikel itu objektif? Atau cuma aku yang merasa artikel itu nggak netral dan isinya menyudutkan?"

Matanya nyalang menatap orang-orang yang terdiam. Elva tidak tahu, apa itu artinya mereka merenungkan yang ia katakan atau hanya berlagak tahu dengan aksi diam sebagai buah penghormatan baginya yang sedang bicara.

"Lagian, artikel di mading itu cuma gosip murahan yang dibalut judul sok kritis dan sok informatif, kan?"

Lagi, sebuah penghinaan keluar dari mulutnya. Elva bertatap mata dengan Arga, sang Pemred. Elva tahu, ada kemarahan yang sedang ditahan di sana, tapi ia memilih masa bodoh. Masa bodoh, seperti semua orang.

"Pertama, kami enggak tahu kenapa bisa ada fotomu di situ. Masalah itu, aku bakal cari tahu kenapa bisa. Tapi, kalau kamu enggak mau memperbesar masalah, kita nggak bisa yakin apa itu bener kamu. Foto itu tampak punggung, satunya pun buram," jelas Arga. "Dan kami enggak berniat untuk memojokan atau menyinggung pihak-pihak tertentu dari artikel yang kami terbitkan di mading. Artikel di mading harus bersifat informatif, dan Mading Aksara udah melakukan tugasnya. Terlepas dari pendapat kamu soal itu cuma gosip murahan. Kalau teman-teman di sekolah setelah baca artikel itu langsung merujuk pada kamu, apa itu salah kami? Kami memberitakan apa yang harus kami beritakan."

Elva mendengus, menatap satu per satu wajah di ruang redaksi. Satu kesalahan, kesalahannya, ternyata mampu mengubah banyak hal. Terlalu banyak.

Elva sadar, tujuan opini publik salah satunya adalah untuk sebuah citra. Entah untuk membentuk citra baru, mempertahankan citra yang sudah terbangun, menguatkan ataupun memperbaiki citra yang sedang terpuruk. Lalu jika opini memperburuk citra, dalam hal ini, citra dirinyalah yang sedang terpuruk, masihkah itu bisa disebut opini? Atau definisinya sudah kabur, melebur dengan gosip?

"Sebagai jalan tengah, di rapat evaluasi, kami mungkin akan bicarakan masalah ini." ujar Arga. "Jadi, masalahnya selesai, kan?"

Tidak. Masalah tidak akan selesai begitu mudah. Akar dari opini adalah persepsi. Jika persepsi semua orang tentang Elva masih saja sama, tak kan ada yang berubah.

Di tengah kekacauan pikirannya dan sikap defensifnya, satu-satunya hal yang Elva tahu adalah kehidupan tenteram sekolahnya tak bisa lagi kembali seperti semula. Tidak setelah gosip berlabel artikel berita di mading. Juga tidak setelah ia tahu, akan sulit baginya memandang orang-orang di sekolah yang menghakiminya lewat tatap mata dan bisikan dengan cara yang sama.

-tbc

11-05-18

A.N : ini pertama kali aku buat cerita pake pov 3. Ternyata rasanya gini wkwk. Awalan, kaku gimana gitu. Pakenya aku-kamu karena... nulis pake lo-gue berasa aneh gegara biasa nulisnya pake aku-kau.

ParadoksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang