26 || Pecundang

65 16 1
                                    

"Itu dia," tunjuk Ayu. Elva pun menoleh pada arah yang ditunjuknya. Mereka sedang menanti pesanan yang dibawa oleh Dian di kantin.

Dian di sana. Tampak berbicara dengan Kayla dan temannya. Elva heran mengapa Dian meladeninya.

"Pasti Kayla nyuruh-nyuruh kayak biasa," gumam Ayu.

"Menyuruh apa?"

"Eh?" Ayu tampak terkejut. "Bawain makanannya."

Elva menoleh lagi ke arah mereka. Sekarang, mereka tampak seperti adu mulut bukannya bicara biasa.

Elva bisa membayangkan nada seperti apa yang akan digunakan Kayla ketika menyuruh, meski dia mengimbuhi kata 'tolong' sekalipun, tak akan terdengar tulus. Bayangan pertengkarannya dengan Kayla waktu itu terputar begitu saja, membuat Elva kesal.

"Dan kalian mau-mau aja?" Elva bertanya setengah geram.

"Dulu," jawab Ayu.

Adu mulut di sana sepertinya menimbulkan sedikit keributan, hingga beberapa murid lain yang didekat mereka setidaknya menolehkan kepala. Situasi yang buruk.

Elva beranjak ke sana, diikuti oleh Ayu.

"...dulu saja mau, sekarang sudah sok nggak mau bawain?" Kayla berkacak pinggang.

"Kamu kan bisa ambil sendiri," ujar Dian. "Lagian, yang kamu lakuin itu bukannya minta tolong, tapi kamu emang minta dilayani!"

"Oh, udah enggak pendiam lagi," balas Kayla sengit. "Udah bisa ngomong sekarang. Tapi sok banget!"

Ketika Elva datang, tatapan Kayla beralih padanya, sinis seperti biasa. Bedanya kali ini, seolah seluruh kesinisan, kegeraman, dan rasa tak suka Kayla berpadu satu dalam tatapan matanya pada Elva. Sama sekali tak repot-repot dibendung.

"Kamu diajari jadi belagu sama dia, kan?" tunjuk Kayla terang-terangan pada Elva. Yang ditunjuk di muka hanya mendengus kasar.

"Kamu punya tangan dan kaki bukannya hanya mulut. Ambil pesananmu sendiri," balas Elva.

Ayu menarik tangan Elva dan Dian bersamaan, ia berbisik, "Jangan teruskan. Kita bakal jadi pusat tontonan."

Elva memandang singkat ke sekeliling, benar saja, tatapan-tatapan ingin tahu penghuni kantin tak dapat disembunyikan. Sebagian besar siswa kelas sepuluh dan sebelas, minus kelas dua belas yang tenggelam dalam kesibukan berbagai persiapan ujian, hingga rasa-rasanya terlalu sibuk bahkan hanya untuk ke kantin. Kali ini sudah bukan hanya tolehan kepala, beberapa dari mereka terang-terangan berbisik satu sama lain.

Jika Elva membawanya lebih jauh, maka situasi ini hanya akan sama seperti pertengkarannya di kelas dengan Kayla kala itu. Bedanya, penonton kali ini lebih banyak. Segala hal buruk pasti tersebar cepat.

"Ayo pergi aja," usul Ayu, lagi. Elva mengangguk, begitu juga Dian.

Tapi belum apa-apa, tangannya sudah ditarik dan disentak Kayla.

"Kamu punya hobi asal pergi begitu aja, ya?" Tatapan Kayla tajam menghujam. "Kamu pikir bisa pergi seenaknya setelah bicara begitu padaku?"

Tak ada yang bisa Elva lakukan kecuali membalas perkataannya, "Dan kamu punya hobi memperbesar masalah, ya?"

Elva tidak tahu apa yang ada di pikiran Kayla. Apa perlu baginya mengulang keributan? Di tengah hiruk-pikuk kantin semacam ini. Apa karena tidak ada kelas duabelas nyalinya jadi semakin besar untuk memperburuk keadaan dan tak segan bertengkar?

Pandangan Kayla beralih pada Dian dan Ayu. "Kalian bodoh apa gimana, sih? Kalian enggak merasa ya cuma dimanfaatin sama 'teman baru' kalian ini? Dia cuma mau berteman karena nggak ada yang bisa diajak berteman lagi."

ParadoksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang