29 || Confession

187 22 11
                                    

Dipengaruhi refleks, Arga berbalik dan mendapati Elva, di depan pintu mading aksara, tersenyum canggung ke arahnya.

Sejak kapan Elva berada di situ? Seberapa banyak yang ia dengar? Apa yang sedang ia pikirkan? Dan, tidakkah ada lubang tak kasat mata untuk menyembunyikan wajah Arga saat ini?

Arga menoleh pada Dion, dan ia hanya menampakkan wajah tak berdosa dan cengiran andalannya.

"Cabut, ya, Ga!" Dan begitu saja, ia menyelonong keluar dari redaksi mading meninggalkan atmosfer kecanggungan yang kental di antara Arga dan Elva.

Ketika Arga pikir keadaan tidak bisa lebih buruk lagi, saat itu juga ia tahu ia salah, sebab Dion berteriak, "Jangan lupa PJ ya kalian!" Ingatkan Arga untuk membungkam mulutnya, lain kali.

Arga menoleh pada Elva, yang masih berdiri sama canggungnya dengan dirinya.

"Kamu ... di situ sejak kapan, El?" Ya ampun, pertanyaan bodoh macam apa itu. Arga merutuk.

"Udah lama." Tangan Elva meremas kecil selempang tasnya. "Maaf, nggak bermaksud nguping, tapi Dion kasih isyarat buat diem waktu lihat aku, jadi...."

Ya ampun, Arga bahkan tidak tahu Dion memberi isyarat pada Elva. Kenapa ia tidak sadar sesuatu saat Dion sudah nyegir berkali-kali seperti habis dapat undian makan gratis seumur hidup?

"Jadi, kamu denger aku tadi bilang... itu?"

Elva mengangguk kecil. Dan Arga mengacak-acak rambutnya frustrasi, menunduk, tak tahu semerah apa wajahnya sekarang dan seberapa konyol dia terlihat.

Lebih konyol lagi fakta bahwa mereka masih terus bicara dalam jarak berjauhan, Elva tetap di depan pintu, dan Arga pun tak beranjak, sama-sama sibuk mempertahankan jaraknya masing-masing. Maka Arga, yang sudah kepalang secara-tak-sengaja mengakui, mengambil inisiatif mempersempit jarak, menghampiri Elva.

"Uh, karena kamu udah telanjur dengar." Arga mengusap tengkuknya, meski hal itu sebenarnya tak berguna apa pun, tak juga membantu mengurangi rasa gugupnya. "It kinda sounds weird, but ... I do like you."

Dan respon Elva hanya mengerjap, menatap Arga.

|÷|

Rasanya hampir seperti otak bagian memproses respon logisnya sedang tak berfungsi, sebab Elva tak bisa memikirkan respon pantas lain selain mengerjapkan mata atas pernyataan Arga dan barangkali itu terlihat amat konyol sekarang.

"Aku serius." Arga menatap Elva lurus-lurus, mungkin ekspresi Elva diterjemahkannya sebagai suatu ketidakpercayaan atas ucapannya-yang memang, setengahnya begitu. "Aku suka kamu."

Elva rasanya ingin melarang Arga mengatakan tiga kata itu sebab efeknya tidak baik pada tubuh Elva. Ada lilitan khayali dalam perutnya. Dan otaknya blank untuk sesaat.

"Kamu nggak percaya ya?" tanyanya lagi.

"Tapi kamu jauhin aku akhir-akhir ini."

Arga mengusap wajahnya, tampak benar-benar frustrasi, dan kupingnya juga wajahnya memerah. "Itu karena-karena aku terus-terusan gugup kalo di dekatmu. Dan bingung mau nyatain perasaan atau enggak. Atau mikirin gimana cara buat nyatainnya."

"Oh...."

Arga diam, Elva juga. Dan kecanggungan itu menyiksa.

"Jadi, responnya cuma 'oh'?"

ParadoksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang