Sepanjang jam pelajaran, pikiran Elva tak lagi ada di kelas. Kelompoknya dimarahi karena mengumpulkan tugas yang belum selesai. Kayla dan temannya menatapnya sinis karena itu. Dan dia tidak ingat maupun peduli apa lagi yang terjadi setelahnya. Elva ingin membolos saja.
"Hei. Pelajarannya udah berakhir." Anggota kelompoknya menegur. Dian dan Ayu, yang pendiam. Elva merasa bersalah tak begitu mengingat nama mereka. Yang Elva tahu dari dulu adalah mereka baik, tapi pendiam. Itu saja. Tak pernah akrab. Hanya basa-basi dan ngobrol untuk kepentingan sekolah.
"Kamu ... enggak pa-pa?" tanya Ayu, berkulit hitam, dan manis. Saat Dian dan Ayu berjejer, warna kulit mereka terlihat kontras. Dian hitam, Ayu putih. Tapi itu indah, sungguh. Dan Elva baru menyadarinya.
Elva terdiam, lama. "Am i that bad?" tanya Elva lirih.
"You know you are not," balas Dian, yang diangguki Ayu.
Elva tidak puas dengan jawaban itu. Dia kembali bertanya, "Apa kalian juga menganggapku tukang perintah? Apa kalian merasa aku sering ... mengintimidasi?"
Mereka berdua tampak bingung. Berusaha menghindari pertanyaannya. Elva menatap mereka makin intens, berusaha mendesak jawaban dengan tatap matanya. Sampai ia menyadari, ia ... memerintah mereka berdua.
Elva mengerjap. Dia baru saja melakukannya: memerintah. Ia mencoba memaksa mereka menjawab dengan tatapannya. Ia bossy, tukang perintah.
Kayla benar. Mencoba mengintimidasi lewat ekspresi.
Tanpa mereka menjawab, Elva dapat menebaknya. Bahkan jika mereka menjawab, Elva semakin takut mendengarnya. Karena jawaban mereka mungkin adalah sebuah 'iya'. Dan karena itu memang benar.
"Maaf," ujar Elva. "Enggak perlu dijawab."
"Hei, kalian berdua mungkin harus cepat-cepat ganti baju olahraga, atau bakal dihukum karena enggak pake seragam." Kayla berbicara pada Dian dan Ayu, sesaat bersikap seolah Elva tidak ada.
Baru Elva sadari, kelas lengang. Hanya ada beberapa yang di kelas, dan kesemuanya memakai baju olahraga. Kenyataan itu mengusiknya. Sekarang jam ketiga pelajaran, dan harusnya, pelajaran Matematika. Elva tidak mengerti.
"Oh, kenapa Elva?" ujar Kayla menyebut namanya secara hiperbolis. "Kamu enggak bawa baju olahraga?"
Elva tak memedulikan Kayla dan justru menatap dua orang di hadapannya.
"Elva, aku mau kasih tahu kamu, tapi—"
"Tapi karena kamu mantan anggota OSIS, harusnya kamu tahu, kan? Kamulah dulu yang ngabarin hal-hal kayak gini." Kayla memotong ucapan Ayu. "Andra yang diberi mandat kasih tahu kelas ini, kalau guru Matematika minta pertukaran jadwal. Apa kamu juga nggak akur sama ketos?"
"Hei, Pak Guru udah di halaman, tuh!" Seseorang memberi peringatan dari ambang pintu. "Dia suruh cepet kumpul!"
"Elva, kita mau ganti baju," Dian menggenggam tangan Ayu, menarik diri dari obrolan, lalu menatap Elva dengan kata 'maaf' yang disampaikan lewat tatap matanya.
"Kamu mungkin bakal dihukum bareng anak-anak cowok bandel," ujar Kayla. "Tapi itu nggak masalah karena kamu sekarang ubah citra jadi siswi bandel, kan?"
Elva diam, hanya meninggalkannya, keluar dari kelas. Kayla masih tetap mengoceh dan Elva hanya berusaha menulikan pendengarannya.
Elva tidak tahu harus ke mana. Ia berjalan ke koridor menuju... toilet? Apa yang akan dia lakukan di sana? Bersembunyi? Pengecut sekali. Lagi pula Kayla barangkali benar. Tidak ada yang peduli juga ia dihukum. Ia dinilai telah mengubah citra jadi siswi bandel. Apa yang perlu dikhawatirkan? Apa yang perlu dijaga lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradoks
Teen FictionKarena satu kekacauan yang membawa namanya dan reputasi sekolah, Elva kehilangan segala titelnya sebagai siswi teladan, pemenang olimpiade, terdepak dari keanggotaan OSIS, dan dihadiahi sarapan gosip dan tatapan menuduh tiap pagi. Namanya kini menj...