24 || Berteman

115 16 5
                                    

[Elva]

Entah mengapa, rasanya menyenangkan dan ringan. Mungkin sebab fakta ia sudah tahu akar masalahnya dengan plagiarisme. Mencari tahu tak seburuk yang ia pikir.

Elva rasa perlahan masalahnya berkurang. Entah nantinya kalah atau menang, Elva tahu keputusannya untuk mencoba ikut lomba esai tak akan disesalinya. Mungkin Arga benar, itu sumber ketakutannya. Semua harus diselesaikan dari awal segalanya dimulai. Lomba esai itu yang membawanya sejauh ini: hingga keluar dari OSIS, bertengkar dan memperbaiki hubungan dengan Sarah, bahkan hingga memengaruhi interaksinya dengan ibunya.

Elva berbaring santai di kasurnya, malam hari, ia menghidupkan data ponselnya—komitmennya pada diri sendiri, hanya berselancar di dunia maya malam hari saja, atau bila diperlukan. Rentetan notifikasi langsung membanjiri ponselnya; mulai dari e-mail, youtube, wattpad, hingga LINE.

Tangannya menyentuh notifikasi LINE, sadar atau tidak, belakangan ia selalu memeriksa LINE lebih dulu dibanding notifikasi aplikasi lain. Arga bila sedang bosan kadang akan menyampah di ruang obrolan mereka, dan Elva tak merasa terganggu, entah mengapa.

Benar saja, ada beberapa chat Arga. Elva segera membalasnya. Padahal tidak begitu penting juga, tapi Elva tersenyum. Gila, pendapatnya soal dirinya sendiri. Padahal tak biasanya begitu.

Keluar dari ruang obrolannya dengan Arga, Elva baru sadar, Andra juga mengirim chat padanya.

Andra: soal perkataanku di kantin, kuharap, paling nggak kamu pertimbangkan

Andra: aku nggak tahu kenapa kamu sungkan padaku, tapi nggak dengan Arga.

Andra: tapi kalo kamu butuh bantuan...

...kamu bakal ada untuk bantu aku.

Elva tak mengerti dengan maksud chat kedua Andra. Apa maksudnya bahwa Andra tahu jika Arga sedang membantu Elva mengikuti lomba esai? Elva tahu mereka berdua teman, tapi tak sedekat itu sampai Arga bercerita mengenai dirinya yang membantu Elva, kan?

Namun, itu bukan suatu hal penting untuk dipikirkan. Justru, dari semua chat Andra, Elva sadar, bukan cuma Arga yang benar. Andra juga benar. Ia harus mulai mencari teman. Menambah lingkaran pertemanan bukannya mengisi lingkaran kenalan yang semu belaka.

Hanya saja, lagi-lagi Elva tak tahu dari mana harus memulai. Sehabis obrolannya dengan Andra di kantin, yang ia lakukan hanyalah membawa masalah soal pertemanan pada lamunannya. Elva gamang. Haruskah untuk yang satu ini ia juga perlu mengandalkan bantuan orang lain, sebagaimana Elva mengandalkan bantuan Arga dalam lomba esai?

Mengandalkam bantuan Andra? Tentu, ia tak akan berkeberatan.

Tapi, tidak, tidak! Elva putuskan tidak. Atau ia akan terlalu banyak berhutang pada orang lain. Mungkin Elva harus mencobanya sendiri. Mungkin mulai besok. Ya, besok.

|÷|

Esok yang ditunggu berjalan cepat. Bahkan hingga memasuki gerbang sekolah dan sampai di pintu kelasnya, Elva terus berpikir: haruskah ia mulai mengobrol dengan orang-orang yang dulu suka disapanya hanya untuk basa-basi? Atau, anggota OSIS yang dulu dekat dengannya untuk kepentingan organisasi? Atau malah, reman sekelasnya?

Saat sampai di bangkunya, Dian dan Ayu tiba-tiba menghampirinya. Sesaat mereka celangak-celinguk, seperti memastikan keadaan sekitar. Sepi. 

"Elva," panggil Dian.

ParadoksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang