25 || Wajar?

71 17 0
                                    

Semua berjalan membaik dan menyenangkan untuk beberapa lama. Elva masih mendiskusikan esainya dengan Arga. Satu minggu kurang dari deadline esai dan Elva berencana mengirim esainya nanti malam.

Hari-harinya di sekolah juga membaik. Atau harus Elva katakan menyenangkan. Ternyata, punya dua teman lebih berharga daripada merasa mengenal seluruh penghuni sekolah. Sejak hari ketika Elva mengajak Ayu dan Dian ke kantin bersama, perlahan ia dekat dengan mereka. Bahkan sudah pernah mengunjungi rumah satu sama lain sekalian mengerjakan tugas.

Elva jadi lebih tahu karakter mereka. Ayu yang sulit berkata bohong, dan tak bisa menutup-nutupi sesuatu. Dan Dian yang sering dibuat kesal karenanya.

"Kamu melamun." Dian menghampirinya, merangkulnya dengan sebelah tangan. Ia basah berkeringat, dan poninya lepek sehabis melakukan  lompat jangkit pada mapel olahraga.

"Dian! Singkirkan tanganmu, seluruh badanmu keringatan, sengaja ya?"

Dian menyengir, tambah mengeratkan rangkulan tangannya. "Kita berbagi keringat!"

Dari jauh, Ayu berlari memanggil nama mereka sambil mengangkat tinggi tiga botol minuman dingin di tangannya.

"Mau??" serunya bersemangat.

"Mau!" Yang ditanyai mengangguk serempak.

Elva menerima uluran botol itu, meminum dan merasakan kesegaran yang langsung memasuki tenggorokannya.

"Kamu habis dari kantin?" tanya Dian.

"Yep!" jawab Ayu. "Habis selesai penilaian aku langsung ke kantin. Mumpung sepi juga, kelas lain kan lagi pelajaran di kelas."

"Elva!"

Elva menoleh ketika namanya dipanggil. Dari seberang halaman, Andra melambai-lambaikan tangannya.

"Bentar, ya," ujar Elva pada kedua temannya.

Elva menghampirinya. "Kenapa manggil?"

"Enggak boleh?" Sekejap, Andra mengubah ekspresinya, yang kentara sekali dibuat-buat. "Oh, gitu, mentang-mentang udah punya teman baru?"

"Apa, sih, Ndra!" Elva terkekeh. "Lagian, kan, kamu yang suruh aku cari teman cewek."

"Iya, iya, becanda, El." Andra tersenyum, matanya menyipit. "Aku seneng kamu udah ada teman. Dan mereka berdua kelihatannya juga baik."

"Tahu dari mana?" goda Elva.

"Tahu aja. Emangnya mereka enggak baik?"

"Baik, lah!"

"Nah, kan, dibela." Andra tersenyum, cukup lama.

Elva jadi merasa canggung, dan aneh saja. Jadi, ia berusaha menutupinya dengan bertanya, "Apaan, tuh?" tunjuknya, pada kertas-kertas di tangan Andra, padahal ia jelas tahu tanpa perlu menanyakannya.

"Oh, biasa, laporan keuangan OSIS, mau aku serahin ke pembina, nih. Kamu mau nemenin?"

"Enggak."

"Berasa ditolak tahu dikasih jawaban cuma sekata."

"Ih," Elva tergelak. "Kok, sekarang jokes kamu alay abis?"

"Soalnya, udah kehabisan cara bikin kamu ngerti," ujar Andra, setengah menggumam. Lalu ia mengangkat bahu. "Lupain, aja. Ya udah, aku mau ngumpulin laporan ini."

Karena bingung mau merespons apa, Elva cuma mengangguk.

Baru dua langkah, Andra berbalik, "Aku harap tadi malam itu kamu lupa balas LINE-ku, bukannya sengaja mengabaikannya."

Elva terdiam di tempatnya. Ia mau membalas perkataan Andra, tapi Andra sepertinya sudah tak butuh jawaban, karena ia langsung berbalik dan berjalan cepat meninggalkannya.

Elva terkejut ketika Dian dan Ayu meneriaki namanya. Ia tak sadar, ia berdiri lama memandangi kepergian Andra.

"Lama banget, sih, ngelihatinnya," adalah komentar pertama Dian—yang diangguki Ayu—ketika Elva kembali ke tempat mereka.

"Dian, kenapa aku merasa Andra ada apa-apa ya sama Elva?" ujar Ayu, melempar lirik pada Dian.

Elva memutar bola mata.

"Iya?" balas Dian. "Aku juga merasa kayak gitu."

Elva memutar bola mata atas tingkah mereka. "Kalian berlebihan."

"Enggak, tuh." Ayu mengangkat bahu. "Kami sering lihat interaksi kalian tahu. Mulai saat kejadian waktu ... masalah seragam itu, kamu tiba-tiba datang bareng Andra dan udah pake seragam olahraga. Kami pikir waktu itu, pasti Andra yang bantuin kamu."

"Emang bener dia yang waktu itu bantu aku. Dan itu kan wajar," kilah Elva.

"Dia sering lihatin kamu. Itu wajar?"

"Wajar, lah. Emang dia harus merem kalo ketemu aku?"

"Dia sering tiba-tiba nyapa kamu. Wajar?"

"Wajar. Kami kan teman."

"Sering bantuin tanpa diminta. Wajar?"

"Wajar."

"Dia sering kirim chat yang bikin kamu bingung jawabnya. Wajar?"

"Waj—" Elva terheran-heran. "Darimana kalian tahu?"

"Kan! Jadi bener dong?"

Ayu dan Dian ber-tos ria, bagai saling mengirim pesan: berhasil!

"Padahal kami cuma asal tebak," ujar Ayu. "Dia sering kirim chat yang bikin kamu bingung jawab? Itu tuh enggak wajar namanya!"

Elva mengerang frustrasi. Ketahuan sudah, dan ia harus menceritakannya pada mereka. Tentang keanehan Andra akhir-akhir ini. Tentang perilakunya, chat yang dikirimkannya yang membuat Elva bingung membalas.

"Dulu bahasan chat kami selalu soal OSIS, atau hal di luar itu, enggak pernah dia tanya 'kamu sedang apa', 'apa yang lagi kamu pikirkan', atau ... yah, pokoknya yang begitu."

"Dia suka padamu," ujar Dian.

"Jangan mengada-ada."

"Aku enggak mengada-ada. Kamu sendiri sebenarnya sudah tahu, tapi menolak mengakuinya, kan?"

|÷|


21-04-'19
another failed chapter

ParadoksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang