21 || Berbincang

131 19 0
                                    

[Elva]

"Jadi, PR-ku adalah cari tahu letak kesalahannya. Antara dua jenis plagiarisme yang mungkin—jenis frasa kunci atau parafrasa?"

Arga mengangguk. "Aku juga bakal bantu, kok. Itu dulu. Oh, omong-omong, temanya perlu riset, 'kan? Kamu udah riset?"

"Baru ngumpulin bahan dan referensi, tapi belum kubaca."

Elva diam, lalu rasa penasaran itu muncul lagi. "Kamu mampu, kenapa enggak ikut lombanya sendiri, Ga?"

"Kenapa nanya gitu?"

"Nggak papa, baru sadar aja, kenapa kamu mau repot bantuin aku?"

Arga diam. Rautnya sendiri bingung, Elva bertanya-tanya apa yang sedang ia pikirkan.

"...aku enggak tahu?"

"Hah?" Elva merasa harus memastikan perkataan Arga karena ia berkata lirih dengan kalimat pernyataan yang justru diucapkan dalam intonasi tanya.

"Jangan tanya kenapa aku mau bantuin kamu, aku enggak tahu kenapa. Kalo soal kenapa aku enggak ikut lombanya sendiri meski aku mampu, itu karena ... nonfiksi bukan ... bidangku? Aku suka baca artikel, esai, rehal, tapi enggak sebesar aku suka baca fiksi. Aku pernah coba nulis esai dan enggak terasa semenyenangkan waktu aku nulis fiksi. It's just not my cup of tea, I guess?"

Elva mengangguk mengerti, ternyata memang tepat dugaannya. Minat Arga lebih ke fiksi. "Tapi kamu memang berbakat di fiksi. Aku suka hampir semua cerpen kamu di mading."

Arga menyeringai sebelum berkata, "Kamu muji karena aku bantu kamu, nih?"

"Arga!"

Oh, ups—Elva hampir lupa mereka sedang di perpusda. Dilarang berisik adalah peraturan kudus nomor wahid. Elva celingukan, tapi memang di sekitar mereka sepi, tak ada orang yang merasa terganggu.

Ketika Elva menatap Arga lagi, ia sedang tertawa mengejek. Elva ingin jengkel, tapi terkekeh juga. "Kamu, sih! Aku jadi kelepasan. Tapi aku serius. Cerpen kamu memang bagus-bagus."

"Thank you, then."

"Jadi, kamu berencana jadi novelis?"

"Hm..." Raut cerah di wajah Arga perlahan saja hilang. Entah mengapa. Sesuatu dalam ekspresi Arga mengganggu Elva. "Dulu, tapi mungkin nggak lagi."

"Kenapa?" Elva tak kuasa untuk tak bertanya, meski setelah melontarkan pertanyaan itu ia merasa agak lancang menanyakan alasan di balik hal yang mungkin bersifat personal—yang mungkin tidak mau Arga bagi pada Elva. Elva menyesal, ia tidak mau melewati batas.

"Forget it. Enggak usah dijawab kalo nggak—"

"Ayahku enggak setuju, Elva." Arga di depannya adalah Arga Si Serius. Bertatap mata, Elva dapat mengamati dengan jelas raut wajah Arga.

Arga terlihat tenang. Seolah terbiasa menceritakan hal ini. Tak menampakkan emosi. Seolah persoalan ketidakcocokan anak dan orangtua soal pilihan profesi anaknya bukan masalah besar. Arga terlalu tenang, sampai Elva berpikir itu pasti dipalsukan. Arga terlalu tenang, sampai Elva kira mungkin Arga sudah berkali-kali membujuk ayahnya dan kini Arga berada di titik menyerah. Menerima keputusan ayahnya.

"Ayahku orang yang realistis—terlalu realistis dan memperhitungkan semuanya. Dalam perhitungannya, keinginanku untuk kuliah Sastra dan jadi novelis adalah keinginan yang enggak realistis. Salah berhitung. Apalagi setelah ayah tahu kalo minatku di bidang tulis-menulis jatuh pada fiksi spekulatif*[1], yang dinilainya sama sekali enggak menjanjikan. Kamu pasti tahu bagaimana jadi penulis di sini. Apalagi penulis-penulis fiksi spekulatif. Jelas beliau enggak setuju aku masuk Sastra."

ParadoksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang