[Elva]
Tiga hari berlalu dari waktu 'Kampanye Meningkatkan Minat Baca', seminggu sudah dari munculnya artikel di mading, dan barangkali sepuluh hari setelah beredarnya kabar dirinya melakukan plagiarisme.
Belakangan setelah acara kampanye meningkatkan minat baca, cewek (khususnya yang hobi menggosip) di kelasnya meliriknya dengan pandangan aneh. Elva bagai seorang yang sedang diawasi jika saja ia mau mencuri.
Dan tanpa bermaksud mencuri dengar secara sengaja, ia tahu ia sedang dibicarakan. Earphone di telinganya cuma tipuan, tak ada musik yang ia dengarkan. Kumpulan cewek itu mungkin bermaksud berbisik, tapi mereka tak pandai melakukannya, kentara sekali. Suara mereka terdengar dari bangku Elva, walau samar. Lagi pula, siapa yang tidak curiga bila terus dilirik kumpulan cewek yang bicara semi-bisik-bisik? Yang dapat Elva dengar adalah perihal jabatannya dulu di OSIS, katanya Elva tidak bertanggungjawab karena keluar saat ada event besar.
Mereka juga bawa-bawa satu nama, Rini, anak kelas sebelah yang juga menjabat sekretaris 2 OSIS—barangkali sekarang jadi sekretaris 1 setelah Elva mundur—ia keteteran karena banyak tugas. Lalu Elva dengar katanya Rini dimarahi oleh ketos dan bla bla bla lalu bila dihubungkan didapat: keterlaluannya Elva.
Elva cuma bungkam, malas klarifikasi. Ia juga sadar diri, keluar dari organisasi saat sebuah event besar digelar tidak dapat dibenarkan. Harusnya memang ia tidak perlu keluar. Kalau saja ia dapat berdamai dengan dirinya, kalau saja ia berhenti berlari dan menyelesaikan masalahnya. Kalau saja waktu bisa diputar.
|÷|
Kiranya Elva salah, semua tidak kunjung kembali baik-baik saja. Setidaknya, tidak saat ia harus membentuk kelompok dengan anak-anak kelasnya.Canggung. Apalagi guru pengampu mapel kali ini membebaskan murid-muridnya membentuk sendiri anggota dan struktur kelompok mereka. Elva bagai siswi baru yang tak tahu mesti berbuat apa. Ia cuma diam ketika yang lain setidaknya punya satu teman untuk diajak membentuk kelompok.
Mudah baginya berkelompok dengan anak cowok di kelasnya—tentu, mereka malah akan menyambut dengan tangan terbuka, tak memusingkan label apa pun, tapi konsekuensinya sudah jelas, sulit menemui cowok yang benar-benar serius mau mengerjakan tugas kelompok. Teman laki-laki di kelasnya bukanlah pengecualian. Bergabung dengan kelompok cowok sama saja dengan mengerjakan tugas kelompok secara personal, tanpa bantuan.
Lagi pula, ada satu aturan, yang dibuat sendiri oleh teman kelasnya: kelompok dibuat terpisah antara cewek dan cowok.
Elva terus diam sampai guru menyadari ia tidak punya kelompok. Dan guru tidak pernah mau peduli hal sesepele itu. Maka guru itu cuma menunjuk salah satu kelompok yang kurang anggota dan menyuruh Elva bergabung dengannya.
Sialnya lagi, salah satu anggotanya adalah si penggosip, dan kelompok akan terus berlanjut mungkin sampai satu semester ke depan. Dua jam terakhir pelajaran begitu menyiksa dalam lingkaran kelompoknya.
Ketika bel pulang berdering, rasanya seperti burung baru bebas dari sangkar memuakkan. Elva cepat-cepat mengemasi barangnya. Seperti kebiasaan, ia memeriksa ponselnya kalau-kalau ada pesan penting dari ibunya. Dilihatnya layar, ada notifikasi pesan beruntun dari Line. Dari satu nama.
Sang ketos, Andra.
Andra: El, tolong pikirin lagi. Aku bakal bicara sama pembina kalo kamu mau kembali lagi ke osis.
Andra: Osis masih butuh kamu sbg sekretaris. Event kemarin kita keteteran. Aku susah koordinasi sama Rini. Dia kurang kooperatif.
Andra: kalo kamu udah baca, tolong bales ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradoks
Teen FictionKarena satu kekacauan yang membawa namanya dan reputasi sekolah, Elva kehilangan segala titelnya sebagai siswi teladan, pemenang olimpiade, terdepak dari keanggotaan OSIS, dan dihadiahi sarapan gosip dan tatapan menuduh tiap pagi. Namanya kini menj...