[Arga]
Arga pikir, setelah ia mengatakan pikirannya tentang Elva di kantin, kecanggungan di antara mereka akan terus berlanjut. Elva mungkin marah, Elva mungkin akan berhenti berteman dengannya. Elva mungkin menganggapnya sok tahu. Dan kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Arga bahkan sempat uring-uringan, kenapa ia tak bisa menahan kata-katanya di kantin waktu itu. Yang ia ingat (dan pedulikan) waktu itu hanya bagaimana Elva mencoba membuka pembicaraan dan mencairkan suasana di antara mereka—ketika Arga rasa itu tidak perlu—serta bagaimana tawa Elva terdengar.
Namun, justru yang terjadi sebaliknya. Arga tambah sering berkomunikasi dengan Elva. Mereka sering berdiskusi, tentang topik-topik tertentu. Elva selalu mengungkapkan pendapatnya tentang cerpen-cerpen Arga di mading, menganalisnya seperti kala itu. Kadang secara langsung, kadang lewat LINE, seperti sekarang ini.
Elva: cerpen kali ini satire-nya mantep!
Arga mengetikkan balasan. Cepat.
Arga: emang biasanya enggak mantep?
Arga: yang mana, nih, aku kan bikin dua.
Elva: yang temanya politik itu, satunya oke, tapi aku lebih suka yang politik. Mau denger pendapatku, nggak?
Arga: sure, as always
Sebelum Arga menekan send, Arga menghapusnya. Berubah pikiran. Arga justru melakukan panggilan suara. Tak berselang lama, Elva mengangkatnya.
"Halo?" Suara Elva segera terdengar dari seberang sana. Terdengar agak berbeda, tapi jelas itu Elva.
"Halo. Ngagetin ya?" ujar Arga.
Terdengar nada berdecak di seberang. "Iya, nih! Padahal aku lagi ngetik panjang tahu! Lagian, biasanya juga chat, Ga."
Arga justru membalasnya dengan kekehan. Membayangkan Elva tambah kesal di seberang sana. "Justru aku nyelamatin jempol kamu biar nggak keriting!"
"Mana ada."
"Jadi, gimana, analisa cerpen saya kali ini, Bu Kritikus?"
"Begini Pak Arga," Elva membalasnya dengan candaan yang sama. "Seperti yang saya bilang di awal, sih, satire-nya mantep! Saya enggak nyangka lho, Pak Arga bahasannya politik. Tapi apa Pak Arga enggak merasa, cerpennya salah sasaran? Terlalu berat buat bahasan anak SMA?"
Seperti yang Arga kira, Elva akan mengomentari bagian itu. Arga suka mendengar pendapat Elva.
"Lanjutkan, Bu Elva."
"Capek ah, ngomong begitu. Aku ngomong biasa aja lah, ya?"
"Salah siapa diladenin."
"Ish. Menurutku, anak SMA—sebagain besarnya, kan—nggak mau tahu soal politik. Kayak, mereka nganggepnya kan, orang yang suka ngurusin politik, ya udah sih, dia emang suka politik atau niat jadi DPR dan pejabat politik gitu. Berarti kalo aku nggak suka ya, ya udah aku masa bodo aja masalah politik. Atau ada yang langsung ngegas: buat apa ngurusin politik, isinya cuma pejabat korupsi doang, kan. Gitu, sih. Jadi kalo mau pajang topik politik gitu di mading, kayak salah sasaran aja, trus kurang bisa 'meningkatkan minat baca' seperti yang kamu mau. Soalnya kamu cukup banyak pake kosakta ilmiah—yang belum tentu mereka tahu juga—di cerpen itu." Elva menjeda. "Ga, kamu nggak tidur, kan?"
"Enak aja! Aku lagi serius dengerin pendapat kamu, nih."
"Ya, kan, siapa tahu, orang diem aja, nggak kedengaran lagi napasnya."
Arga terkekeh. "Emang harus banget kedengeran bunyi napasnya?"
Arga tidak tahu benar tidaknya, mungkin, hanya mungkin, Elva telah menunjukkan real self-nya. Arga, entah mengapa, suka Elva yang seperti ini. Sisi yang kadang, mudah kesal, dan bercanda receh.
"Tuh, kan, diem lagi! Padahal aku udah ngoceh." Elva berseru, sungguh, suaranya nyaring dari speaker ponsel Arga. "Eh, tunggu-tunggu, kan kamu bikin dua cerpen. Jangan-jangan emang sasaran kamu bukan anak-anak sekolah kita?"
"Kalo bukan mereka, siapa?"
"Guru-guru, mungkin?"
"Masa nyindir guru-guru, sih? Enggak seberani itu juga. Cuma ... aku iseng pajang cerpen itu aja, sih. Pelampiasan abis liat timeline sosmed yang isinya seputar orang-orang ngomongin pilpres mulu, tapi nggak ada 'isinya'. Enggak benar-benar sadar soal 'salah sasaran' itu sih sebelum kamu ngomong. Emang, sesalah sasaran itu?"
"Kalo dari pengamatanku, iya. Padahal topiknya bagus sih, soal orang-orang yang terlalu menghebohkan pilpres dan bodo amat sama pileg, kan?"
"Iya, kamu concern juga masalah politik?"
"Akhir-akhir ini, suka ngikutin berita perpolitikan gitu. Soalnya, bentar lagi, kan, pertama kali ikut milih, terlibat demokrasi langsung. Daripada asal pilih, kan. Trus kalo kebijakannya bermasalah, ntar langsung nyalah-nyalahin pejabatnya, orang milih aja asal-asalan, bodo amat mulu. Abis itu ngayal hidup enak."
Arga tersenyum geli. Ingin membuat Elva kesal. "El, kamu lagi ngomongin netizen Indo?"
"Arga!" Elva berseru dari seberang. "Orang aku lagi serius juga!"
"El."
"Apa?"
"Layar sama speaker hape aku pecah, nih. Soalnya suara kamu nyaring banget!"
"Argaa!"
Sampai akhir dari panggilan mereka, sebuah pikiran terbesit di benak Arga: Kalau tahu bicara lewat panggilan dengan Elva semenyenangkan ini, pasti sudah Arga lakukan dari kemarin-kemarin.
|÷|
A.N: pendek, tabungan chapter-ku udah habis. Semoga masih bisa update Selasa-Jumat untuk seterusnya.
18-01-'19
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradoks
Teen FictionKarena satu kekacauan yang membawa namanya dan reputasi sekolah, Elva kehilangan segala titelnya sebagai siswi teladan, pemenang olimpiade, terdepak dari keanggotaan OSIS, dan dihadiahi sarapan gosip dan tatapan menuduh tiap pagi. Namanya kini menj...