[Arga]
Baru saja tiba di pintu kelas, Arga sudah dihadiahi mata berbinar dan cengiran sinting milik Dion. Arga cuma mengabaikannya.
"Hoi, Ga!"
Tak menggubris, Arga menaruh tasnya di bangku, baru menjawab, "Apa? Mau minta contekan?"
"Suudzon! Nggak, lah!"
Arga hanya memandang Dion dengan skeptis. Kalau bukan contekan, apa lagi? Cowok berbadan gempal itu, kan, selalu menampakkan ekspresi semacam itu kalau mau minta contekan. Dan kalau bukan, untuk apa juga ia mau datang pagi-pagi? Bahkan, hanya ada mereka berdua dan Nina—cewek paling pendiam di kelas yang super apatis.
Dion mendekat dan duduk di bangku depan Arga, menghadap ke arahnya. "Aku lihat kamu ngobrol lama dengan Elva di koridor, tadi."
"Terus?" Apa anehnya? Seolah ia tidak pernah melihat Arga mengobrol saja.
"Ya ampun! Maksudku, aku nggak tahu loh kamu sudah sedekat itu dengannya. Kamu lagi PDKT sama Elva, ya?"
Arga mendengus. "Otakmu ketularan Danu tuh, mengatai dia suka gosip, diri sendiri juga sama saja."
"Jangan samakan dengan cecunguk itu dong!" ujar Dion setengah tidak terima. "Apa yang kubilang kan berdasarkan bukti! Coba ingat waktu kita pergi ke kantin, kamu jalan beriringan sama Elva, mengobrol entah apa, lalu selama sehari berikutnya ekspresimu kayak habis menang lotre."
Itu kan karena kamu sendiri yang melupakan eksistensiku setelah bertemu dengan Danu dan Dika. Ingin Arga katakan itu, tapi menimbang ia bakal terdengar berlebihan dan menyedihkan, sudahlah, dia diam saja. Lagi pula soal ekspresinya, Arga yakin tak akan mungkin selebay itu. Ia hanya merasa senang ada yang menganalisis karyanya sedalam Elva. Itu saja.
"Terus Dika pernah melihatmu berdua bersama Elva di perpus. Terakhir adalah tadi. Selain Sarah, dan beberapa anggota perempuan dari klubmu, aku hampir nggak pernah melihatmu mengobrol dengan cewek. Jadi, kalian ini sudah sedekat apa, ha?"
Arga berdecak. "Apanya yang sedekat apa? Kami cuma teman—"
Uh, teman atau kenalan? Rasanya melabeli seseorang yang pembicaraannya denganmu cuma sebatas buku sebagai 'teman' kurang cocok. Kenalan?
"Teman apa? Teman tapi mesra?"
"Berisik. Intinya kami cuma sama-sama nyambung waktu mengobrolkan buku. Itu saja. Kenapa juga kamu penasaran?"
"Sudah jelas karena...." Entahlah apa Dion cuma pasang tampang begitu meyakinkan atau memang ia benar-benar yakin. Arga jadi tergoda untuk menunggu kata-kata Dion selanjutnya.
"Karena ini kamu dan dia Elva," ujar Dion, tak lupa dengan cengiran. Jawaban macam apa itu. Ingin Arga memukul kepala bocah di depannya.
"Heh, begini, aku kan sudah sekelas denganmu selama hampir dua tahun—"
"Tentu saja, dan kita akan sekelas lagi tahun depan," ujar Arga dengan nada sarkastis. Seolah Arga perlu diingatkan fakta bahwa kelas Bahasa hanya satu kelas dengan murid hanya duapuluh delapan orang, tentu saja akan sekelas terus. "Makasih sudah mengingatkan mimpi buruk itu."
"Diam. Aku tahu kamu payah urusan cewek."
Berkata tapi tidak mengaca. Sungguh Arga ingin mengatakannya.
"Jarang-jarang lihat kamu dekat dengan cewek. Dan karena itu Elva, kayaknya otaknya sudah kebanyakan beban sama rumus-rumus fisika dan praktikum lab ipa, ditambah dulu dia jadi OSIS, jadi nggak ada ruang kosong buat mikirin dapat pacar. Nah, itu menarik, kan? Dua orang yang sebelumnya nggak peduli masalah masa percintaan SMA kini lagi dekat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradoks
Teen FictionKarena satu kekacauan yang membawa namanya dan reputasi sekolah, Elva kehilangan segala titelnya sebagai siswi teladan, pemenang olimpiade, terdepak dari keanggotaan OSIS, dan dihadiahi sarapan gosip dan tatapan menuduh tiap pagi. Namanya kini menj...