13 || Damai

116 12 0
                                    

[Elva]

"Aku mau bicara," ujar Elva. Ia dapat melihat keterkejutan yang jelas tampak di wajah Sarah.

Andai Sarah (dan Arga) tahu, Elva juga seterkejut itu akan keberaniannya sendiri. Atau, harus Elva bilang, kenekatannya.

Sebuah kebetulan bertemu Sarah di sini. Kebetulan yang tak mau Elva sia-siakan. Hari ini, Elva telah mendengar pengakuan dari Kayla, tentang keburukannya. Bossy, suka mengintimidasi, pengatur.

Orang selalu punya alasan untuk tidak menyukai, sadar maupun tidak. Pasti begitu pula Sarah padanya. Pasti ada alasan kenapa kala itu tiba-tiba Sarah datang padanya, yang berujung pertengkaran Sarah dan Elva.

Mungkin besok Elva sudah tidak punya banyak keberanian lagi untuk mendengar sesuatu yang buruk tentang dirinya, apalagi jika sesuatu itu mungkin benar.

"Bicara aja," kata Sarah.

Elva sudah gelisah di tempatnya. Ini bukan hal yang bisa dibicarakan segampang itu. Jadi, ia berkata, "Enggak di sini, please?"

"Oke. Di mana, perpus?"

"Boleh."

"Aku nyusul ikut rapatnya, Ga," ujar Sarah, menatap Arga, dan diangguki oleh Arga.

Elva menoleh pada Arga, tersenyum sekilas, menyembunyikan canggungnya, "Aku duluan, Ga." Dan lagi-lagi, Arga cuma mengangguk. Mungkin, terlalu bingung dengan situasinya, bila Elva boleh menebak.

Sarah telah berlalu di depannya. Langkah Elva terasa berat mengikuti Sarah. Butuh banyak keberanian bagi Elva untuk memanggil Sarah. Butuh banyak keberanian bagi Elva untuk nantinya bertanya.

Setelah mereka sampai di sudut perpus, seolah tak mau buang waktu, Sarah langsung menembakkan pertanyaanya, "Jadi, mau ngomong apa?"

"Aku tahu situasi ini ... canggung," ujar Elva, memulai. Ia juga tak ingin berbasa-basi. "Soal esai itu, sebenernya, kenapa kamu marah banget ke aku waktu itu?"

Elva memerhatikan ekspresi Sarah, ia tampak terkejut, sekaligus ... terganggu?

"Itu udah lewat, kenapa bahas itu?" tanya Sarah.

"Segala hal pasti ada alasannya. Termasuk sikap kamu waktu itu, kamu nggak mungkin tiba-tiba semarah itu ke aku tanpa alasan, kan? Apalagi kita awalnya cuma sebatas kenal tanpa interaksi berarti ...." Elva kehilangan kata-kata untuk menjelaskan maksudnya.

Berhenti sejenak, Elva berusaha menyusun kata lagi. "Kalo alasannya karena aku mencoreng nama sekolah, respons kamu dan anak-anak lain terlalu beda jauh. Yang lain gosipin aku, pura-pura biasa aja di depan padahal di belakang ngomongin, tapi kamu beda. Kamu datang ke aku, konfrontasi, dan marah."

Pada akhirnya, Elva menghentikan kata-katanya, memejamkan mata sekejap. "Kamu tahu, aku cuma—ingin nggak punya musuh, nggak perlu saling menghindar waktu ketemu, nggak perlu ingat waktu bertengkar sampai masuk BK. Aku rasa kita punya sesuatu yang belum terselesaikan."

...dan aku capek punya masalah dengan orang-orang di sekolah, yang tentu, hanya Elva lanjutkan dalam hatinya.

Melihat Sarah hanya diam, Elva kembali berkata, "Aku cuma mau tahu kenapa dan aku siap sama jawaban terburuk. Apa pun."

Elva terlalu takut mendengar kebenaran, selalu, tapi ia lebih takut dengan hal-hal yang bisa menjadi bom waktu, seperti sikap Kayla, yang diam-diam tak menyukainya. Dengan kebenaran dalam ucapan Kayla, itu telah memicu ketakutan Elva ke permukaan, Elva takut dan benci mendengarnya, karena itu benar. Dan Elva mungkin tidak siap lagi dengan pengungkapan kebenaran setelahnya. Jadi, kenapa tidak habiskan seluruh nyalinya sekarang untuk mendengar jawaban Sarah?

Hanya itu yang dapat Elva pikirkan.

"Aku enggak tahu kenapa kamu tiba-tiba nanyain alasannya, setelah sekian lama," jawab Sarah. "Tapi, yang jelas, aku harus ngaku itu bukan sepenuhnya salah kamu. Dan, emang enggak, nggak sesederhana alasan karena kamu udah mencoreng nama sekolah.

"Kamu bilang kamu siap sama jawaban terburuk. Jadi, aku bakal bilang, aku enggak suka kamu," Sarah menatap tepat Elva ketika mengatakannya, dan Elva, tetap tidak siap mendengar pernyataannya yang blak-blakan.

"Aku nggak suka kamu karena ... kamu bukan anak redaksi mading, kamu bukan anak Bahasa, atau kelihatan berminat di bidang tulis-menulis, dan tiba-tiba aja dekat deadline lomba, kamu yang diajukan buat ikut lomba itu hanya karena alasan ... guru-guru kenal kamu pintar, kamu anak OSIS, kamu siswi aktif, dan salah satu guru bilang, artikel opini kamu di blog pribadimu bagus-bagus. Maaf, tapi aku nggak lihat alasan yang cukup bagus buat kamu untuk jadi perwakilan sekolah. Pihak sekolah seolah percaya banget kamu bisa hanya karena kamu anak OSIS. Ah, sekretaris OSIS."

Elva yakin bukan hanya perasaannya saja, tapi Sarah memang terdengar cukup sinis saat menyebut-nyebut OSIS.

"Kalo kamu pernah baca mading, kamu mungkin tahu banyak anak redaksi yang berseberangan sama anak OSIS, aku salah satunya, kami sering mengkritik lewat mading. Sebut aku nggak adil, tapi dulu kamu OSIS dan aku tambah nggak suka padamu. Ditambah ... seperti yang dikatakan siswi-siswi lain, kamu OSIS yang nggak tersentuh, semua tahunya kamu ramah, kamu supel, kamu baik, kamu kesayangan guru. Dengan kualitas itu, guru-guru percaya banget sama kamu.

"Alasan lain adalah karena sekolah nggak memberi aku kesempatan."

Sarah berhenti berbicara sejenak, seolah meminta Elva memahami dengan baik kalimat terakhirnya.

Kesempatan, katanya. "Jadi, kamu kandidat lain lomba itu?"

Sarah mengembuskan napas, kesal, atau entah apa. "Aku bukan kandidat lain lomba. Seperti yang kubilang, sekolah nggak memberiku kesempatan, sama sekali. Bahkan setelah kutunjukkan kemampuanku, setelah kutunjukkan artikelku, dan esaiku yang sering dipajang di mading, mereka tetap pilih kamu, lagi-lagi karena kamu OSIS. Kamu IPA, dan aku cuma IPS. IPA dan anggota OSIS, perpaduan yang powerful. Bohong kalo kamu nggak mengakui jadi OSIS di sekolah ini itu bikin seseorang kayak elite sekolah. Dan bohong kalo kita nggak mengakui stereotip yang terus-terusan menempel kalo IPA anaknya pintar-pintar, dan IPS levelnya di bawah IPA.

"Lalu tiba waktu pengumuman, kamu malah bikin esai dengan plagiat. Aku makin marah karena terlepas benar enggaknya, aku merasa aku bisa melakukan yang lebih baik kalo akulah yang mewakili sekolah."

Elva kira hanya dirinya yang diajukan. Elva kira tak akan ada orang lain yang sangat menginginkan kesempatan itu sebegitu besarnya.

Mereka berdua sama-sama diam untuk waktu yang lama. Elva butuh waktu untuk mencerna segalanya, dan barangkali Sarah telah selesai dengan penjelasannya.

"Aku nggak tahu kenapa kamu tiba-tiba nanyain hal ini dan pengin menyelesaikan urusan di antara kita," ujar Sarah, menghentikan kebisuan di antaranya. "Aku juga nggak mau punya musuh, dan rasanya nggak adil kalo kamu mau tahu letak salahmu, tapi aku nggak ngakuin kesalahanku." Sarah berdeham. "Aku ... minta maaf, buat masalah mading, artikel bernada provokasi itu. Itu nggak dewasa. Dan juga untuk aku, yang memulai pertengkaran dengan kamu. Aku minta maaf."

Sarah mencoba tersenyum, walau tampak sangat canggung. Bagi Elva, tak ada yang lebih melegakan dari cara Sarah menghargai kemauan Elva menyelesaikan segala sesuatu di antata mereka, apalagi Sarah juga mengakui dan meminta maaf atas kesalahannya. Elva membalas senyum Sarah, sama canggungnya.

"Aku juga minta maaf, untuk kesempatan esai yang terasa bukan milikku, dan juga pertengkaran waktu itu. Mungkin kita sama-sama kebakar amarah duluan waktu itu."

"Ya, mungkin," balas Sarah. "Aku tahu ini canggung ... tapi aku juga mau semuanya selesai. Mungkin kita enggak bisa kayak teman setelah semuanya, tapi mungkin kita bisa selayaknya ... kenalan, yang seperti kamu bilang, enggak saling menghindar kayak musuh?"

Elva tersenyum. "Tentu. Jadi, damai?"

"Oke, damai," Kali ini dibalasnya oleh Sarah dengan senyum, yang lebih tenang. "Maaf. Aku nggak bisa lebih lama lagi, mau rapat."

"Oke, makasih waktunya."

Sarah mengangguk. "Bye, Elva."

"Bye, Sarah."

Terlepas dari pertengakaran tidak mengenakkannya dengan Kayla, hari ini Elva merasa lega setelah bicara dengan Sarah. Kelegaan yang membuang separuh sesaknya.

04-01-'18

ParadoksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang