14 || Paradoks

145 12 0
                                    

[Arga]

"Kamu pernah bilang, kamu mau penjelasan yang lebih masuk akal dari sekedar kata 'aku enggak suka dia', alasan sebenernya tentang kenapa aku nulis dua artikel yang bernada provokasi di mading soal Elva."

Setelah lebih satu bulan dari saat Arga menanyakannya dan hubungan keduanya membaik, Sarah tiba-tiba mengawali pembicaraan tentang topik itu lagi sehabis rapat redaksi.

"Masih mau tahu, atau enggak?"

Waktu Sarah menanyakannya, Arga cuma mengangguk, meski diliputi banyak kebingungan: Kenapa tiba-tiba? Kenapa baru sekarang? Kenapa tepat setelah Elva mengajak Sarah bicara? Dan, apa yang mereka bicarakan?

Arga dapat menyimpulkan jawaban Sarah, pengakuan atas kenapa dia membuat artikel mading itu sebagai sebuah kekecewaan. Kekecewaan pada pihak sekolah yang lebih mengunggulkan anggota OSIS di banyak hal, kekecewaan karena tidak diberi kesempatan, ditambah dengan ketidakharmonisan hubungannya dengan anggota OSIS, dan ... sebagian rasa iri, Bahkan Sarah mengakuinya. karena Elva yang mendapat kesempatan, tapi mencoreng nama sekolah.

Pada akhirnya semua kebingungan Arga terjawab, sayangnya, semua yang dikatakan Sarah terpikirkan olehnya bahkan sampai di rumah, sampai saat ini.

Sarah mengatakan pada Arga bahwa Elvalah yang meminta penjelasan atas semuanya. Menyelesaikan segala sesuatu tentang mereka,  ingin tidak punya musuh, ingin hubungan mereka baik. Meski canggung, Sarah bilang juga mau berdamai, dan masalah mereka selesai.

Ingin tidak punya musuh.

Harus Arga akui, Elva adalah manusia yang membingungkan. Cewek dengan pribadi paling membingungkan yang pernah ia temui.

Mengonfrontasi redaksi mading langsung dan lempar remasan artikel tepat ke mukanya? Pertama kali, Arga berpendapat Elva adalah tipe cewek kebanyakan yang pemarah, agresif, emosional, dan meledak-ledak. Tidak suka seseorang menjatuhkannya. Mendewakan nama baik dan popularitas.

Lalu ketika Arga menemuinya lagi untuk meminta maaf, Elva menurut begitu saja, tanpa terlihat emosional atau apa. Seperti kebanyakan cewek pendiam, yang cenderung penurut, dan gila buku. Tipe yang suka menghabiskan waktunya untuk membaca dan mendiskusikan bacaannya dengan orang lain sesama penyuka buku. Jauh berkebalikan dengan Elva pertama yang ia ketahui.

Dan Elva yang ia temui setelah pentas drama juga berbeda. Penganalisa cermat, padahal tidak ada latar belakang pembelajar sastra atau semacamnya. Di meja bersama ia dan 3D (Danu, Dion, dan Dika), Elva seperti cewek super supel yang dapat bergaul dengan berbagai kelas sosial dan berbagai macam orang, bahkan mengimbangi absurditas candaan 3D.

Dan Elva yang ia temui tadi, lagi-lagi berbeda. Seperti tipe anak introver, mengisolasi diri dari pergaulan, terlalu serius.

Lagi-lagi, Elva yang itu bertentangan dengan Elva yang supel. Arga juga tidak pernah melihat Elva bersama seseorang, teman atau siapanya. Atau ... memang tidak ada? Malah, jika gosip Dion benar, Elva punya masalah dengan teman sekelasnya.

Apa semua cewek punya sisi berbeda sebanyak itu? Tapi Arga tidak pernah dibuat kebingungan dengan perbedaan sisi dari banyak cewek yang ditemuinya. Baiklah, memang tidak banyak. Sarah sekalipun. Atau cuma Arga yang payah urusan cewek, seperti kata Dion.

Semua sisi Elva seolah bertentangan. Semacam paradoks. Cewek dengan sisi paradoks? Paradoks Elva.

Uh, kenapa juga Arga harus memikirkan keruwetan ini?

Tepat ketika Arga ingin membuang jauh-jauh persoalan Elva dan keparadoksannya, ponsel Arga berbunyi dan malah menampilkan notifikasi pesan dari Elva.

Elva Ariana: Hei, Arga
Elva Ariana: ini beneran... kamu?

Terkutuklah Dion. Siapa pun pasti sadar pesan narsis semacam itu bukanlah apa yang bakal dikirimkan Arga.

Arga: eh, ini akun line milikku, sih.

Arga: tapi Dion yang mengetik chat itu

Elva Ariana: udah aku tebak sih, narsis adalah Dion. As always.

Arga terkekeh membacanya. Tunggu sampai Dion menanyainya lagi dengan pertanyaan, "Ga, Line-mu udah dibalas Elva belum?" Dan Arga akan menyodorkan chat balasan Elva ini padanya.

Arga: kita punya pendapat yang sama soal Dion.

Elva Ariana: hehe

Elva Ariana: oya, Arga, soal diskusi buku itu ... aku blm sempat cari tahu apa2.

Arga: kukira kamu bahkan lupa.

Elva Ariana: aku nggak lupa, karena topiknya menarik?

Arga: santai. Kita bisa diskusiin itu kapan2 kok, kalo kita siap.

Setelah chat basa-basi dengan Elva, Arga jadi ingat sesuatu: konsep real self dan social self.

|÷|

Paginya, Dion benar-benar menanyakan tentang balasan chat line Elva, dan tentu, Arga dengan senang hati menunjukkannya, terutama bagian Elva yang mengakui Dion narsis. Sebagai tambahan, Arga membacakannya keras-keras. Cukup untuk membuat Dion agak dongkol.

"Sekarang siapa yang tukang gosip?" tanya Dion, menyerahkan ponsel Arga, dengan raut wajah berkata: tuh, kau juga melakukannya!

Dan Arga cuma menjawab, "Kamu narsis kan fakta, bukan gosip."

Dion cuma diam. Arga kira, sih, karena setuju itu benar adanya, atau entahlah.

Selang berapa lama, keterdiaman itu tak bertahan, Dion bicara lagi, "Ga, aku bosan!"

Arga cuma mengintip sekilas  dari balik ponselnya, lalu mengabaikannya. Dion bosan, memang Arga bisa apa? Dirinya juga sama bosannya.

"Kapan, sih, kelas kita berhenti diperlakukan kayak kelas buangan?" Dion berkata lagi, matanya tampak mengamati sekitar; pada anak-anak lain yang sibuk dengan dunianya sendiri, sebagaian lain malah keluar kelas, entah ke kantin, merokok di belakang sekolah, atau entahlah.

Arga masih tidak menggubris. Sibuk dengan tab-tab browser yang sedang dibukanya.

Kesal diabaikan, Dion merebut ponsel Arga. "Apa yang sedang kamu baca, sih?" gerutu Dion, matanya memindai cepat. "Portal berita, artikel-artikel."

"Kembalikan, sini!"

"Ya elah, Ga, kamu masih nungguin update-an blog siapa ini—si Monokrom? Monokrom.blogspot.com kan? Berapa lama katamu blog ini nggak update? Satu bulanan? Kayak enggak ada blog lain aja."

Arga kembali merebut ponselnya. "Emang banyak blog-blog kayak Monokrom ini, tapi dia tuh favoritku, topiknya spesifik, opininya berdasar fakta, detail, dan kalo membahas topik, bahasannya dari hal-hal atau sudut pandang yang seringnya 'beda' dari yang lain. Bukannya kamu pernah baca juga artikelnya?"

Dion mengangguk. "Pernah sih, tapi lupa," ujarnya, diakhiri cengiran.

Arga cuma membalasnya dengan dengusan.

Satu menit berlalu, Dion kembali mengeluhkan hal yang sama: bosan, kelas Bahasa yang sering dianggap kelas buangan, jamkos terlalu sering, tidak adil, dan bla bla bla.

Akhirnya Arga membalas, "Sampai kelas Bahasa punya lebih banyak murid untuk diperhatikan dari sekedar 24 anak."

Arga berdiri dari kursinya, dan Dion langsung bertanya Arga mau ke mana.

"Jangan bilang perpus!" seru Dion, memicingkan mata.

"Sayangnya memang perpus," jawab Arga.

Dan Dion kembali berceramah, "Tahu sih, kita ini murid kelas Bahasa, tapi enggak ke perpus tiap hari juga kali, Ga. Lagian belum bel. Aku yakin, alasan anak Bahasa kena stereotip penghuni perpus dan kutu buku  itu dari murid-murid modelan kamu. 90% anak kelas lain selalu bilang: anak Bahasa enggak asyik diajak ngobrol dan membosankan. Sumber: valid, wawancaraku dengan anak kelas lain."

Tanpa menoleh, Arga cuma mengatakan dua kata, yang akan membuat Dion tambah jengkel: "Dipikirin amat." Kemudian Arga berlalu sambil terkekeh mendengar Dion mengumpat.

Selasa, 08-01-'19

ParadoksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang