Kalau berkeliaran di luar tanpa punya urusan penting di akhir musim salju yang dinginnya sampai ke tulang disebut gila, maka tidak salah kalau menganggap Seong Joon sebagai bosnya. Di saat semua orang mempercepat langkah supaya tidak terlalu lama terpapar udara dingin, Seong Joon malah berdiri di depan Seven Eleven, ketika nyatanya dia bisa saja masuk dan menunggu sambil menghangatkan diri.
Bukan pertama kali, Seong Joon selalu melakukan ini setiap hari, kecuali kalau gadis itu tidak bepergian. Dia akan berdiri menghadap pintu keluar nomor 3 stasiun Hansung yang berjarak beberapa meter saja dari Seven Eleven tempatnya bekerja.
"Oppa, masuklah. Suhu sangat rendah hari ini," seru Ji Yeol sambil menyembulkan kepala dari balik pintu.
"Sebentar lagi," jawab Seong Jun tanpa memalingkan wajah sedikit pun.
Terdengar embusan napas kencang dari Ji Yeol. "Selalu begitu," gerutunya sambil menutup pintu. Agak keras, tapi tetap tidak berpengaruh bagi Seong Joon.
Lima menit. Sepuluh menit. Masih tidak ada tanda-tanda kemunculan gadis itu. Apa dia terlalu cepat? Seong Joon berpikir. Tapi rasanya tidak. Dia keluar rumah seperti biasa, dan harusnya selang waktunya tidak terlalu lama. Apa terjadi sesuatu? Seong Joon mulai khawatir. Namun, tepat saat itu, gadis yang ditunggu-tunggunya muncul dari tangga paling bawah. Sebersit senyum langsung timbul di wajah Seong Joon.
Di pertengahan tangga, tiba-tiba seorang perempuan berteriak. Matanya menyalang sambil menunjuk-nunjuk seorang lelaki yang cukup berumur. Sepertinya lelaki itu barusan menyentuhnya, entah sengaja atau tidak. Semua orang berhenti dan menyaksikan pertengkaran itu. Namun seperti biasa, gadis itu tidak terpengaruh. Dengan tangan yang bersembunyi di dalam saku mantel dan pandangan yang tetap lurus, dia melanjutkan perjalanan.
Kali ini Seong Joon tertawa kecil. Gadis itu memang luar biasa, bisiknya. Dalam hati dia berhitung. Sampai angka sepuluh, gadis itu sudah sampai di tangga teratas, dan dengan berat hati, dia harus menyudahi kegiatan ini dan masuk ke tempat kerjanya.
"Aku tidak mengerti dengan yang kau lakukan tiap hari, Oppa," ujar Ji Yeol begitu melihat Seong Joon muncul dari balik pintu.
Melihat Seong Joon menunggu di depan selama beberapa saat sebelum menggantikan shift-nya memang sudah menjadi kebiasaan sejak ... entahlah. Ji Yeol tidak begitu ingat kebiasaan itu dimulai sejak kapan, yang jelas sudah cukup lama. Namun, setelah beberapa waktu pun, dia masih tidak bisa mengerti kenapa lelaki itu harus melakukannya.
Sambil tersenyum kecil, Seong Joon melangkah ke balik meja kasir. "Tidak semua hal di dunia bisa kau mengerti, Yeol. Shift-mu sudah habis, jadi pulanglah."
Ji Yeol menggeleng. "Masih sepuluh menit lagi."
Sambil menunjukkan jamnya yang sengaja diatur lebih cepat, Seong Joon berkata, "Sudah habis. Pulanglah."
"Hanya jam milikmu yang menunjukkan pukul segitu. Jadi berhenti menipuku, Oppa. Kau selalu memangkas shift-ku tanpa alasan yang jelas dan hari ini aku ingin tahu kenapa," tegas Ji Yeol.
Lagi, senyum kecil terlihat di wajah Seong Joon. Memang, dia biasa melakukan ini dan Ji Yeol akan masuk ke ruangan khusus karyawan untuk mengambil tasnya. Di saat itulah biasanya gadis yang ditunggu Seong Joon muncul, mengambil susu pisang lalu menuju kursi pojok dan menikmati waktunya di sana setelah membayar. Dan setelahnya, Ji Yeol baru akan keluar. Makanya dia tidak pernah tahu atau menaruh curiga akan alasan Seong Joon melakukan kebiasaan-kebiasaan itu.
Namun sepertinya hari ini siklus itu akan berubah dan mungkin Ji Yeol akan mulai curiga. Pintu terbuka, membuat bel di atasnya berdenting, sama seperti pertama kali gadis itu membunyikan bel di hati Seong Joon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Us Be Happy ; 우리가 ... 행복하자
General FictionSeorang pemuda datang padanya dengan tangan penuh luka. Tanpa pernah membuat kesalahan, pemuda itu terus meminta maaf, membuat dirinya mulai penasaran. Pemuda itu telah mengusik hatinya. Seorang gadis masuk dengan tatapan kelam dan langkah seolah ta...