[10] If You're All Alone, Don't You Feel Lonely? / 혼자 있다면 안 외롭다?

312 47 5
                                    

"Bagaimana menurutmu?"

Orang itu mendelik demi melihat deretan foto yang memenuhi layar laptop di hadapannya. Setidaknya ada lebih dari dua puluh foto yang menghiasi satu folder penuh, yang tengah dibuka pemiliknya. Matanya berpindah dari satu foto ke foto lainnya. Ada beberapa foto yang hanya memuat sedikit perbedaan bila dibandingkan dengan yang lain, tapi tetap saja semua itu akan membawa siapa pun pada satu kesimpulan. Orang-orang di foto itu punya hubungan dekat.

Sekali lagi dia bergidik. Kali ini bukan karena foto di hadapannya, tapi karena senyum bengis si pemilik. Yang tadinya mendelik, matanya jadi memicing cepat, menatap tajam apalagi ketika orang di hadapannya tertawa puas, seolah sudah menguasai dunia dan tidak ada yang bisa melawannya. Melihat itu membuatnya muak.

Dengan cepat dia maju, ingin meraih laptop itu dan menghapus semua foto yang dilihatnya barusan. Atau bahkan, melempar laptop itu sekalian, supaya pemiliknya tidak lagi punya sesuatu untuk dibanggakan dan dijadikan ancaman seperti saat ini. Namun, orang di hadapannya jauh lebih licik dan gesit daripada yang dia duga. Dalam sekejap laptop itu sudah aman di bawah meja, disambung tawa yang kembali menggelegar ke seluruh ruangan.

"Kau pasti setuju kalau ini akan jadi berita hebat, kan?" ujar orang itu sambil mengutak-atik laptopnya dengan senyum miring. "Sayang kalau dilewatkan begitu saja. Bukan begitu?"

Dia menggeram. Emosi yang ditimbulkan orang di hadapannya sudah mencapai ubun-ubun. Dia tidak bisa lagi berdiam diri dan membiarkan orang itu bertingkah seenaknya. "Berikan padaku!" serunya sambil kembali merangsek maju dan akhirnya kini berhasil memonopoli laptop itu ketika pemiliknya lengah.

Tawanya yang kini terdengar. Tidak menggelegar, tapi terdengar puas karena sudah memiliki barang bukti di tangan. Namun, di luar dugaan, orang itu malah terbahak. Tawanya tidak bisa dihentikan dan terdengar berlebihan, bahkan kini lebih persis seperti melihat orang gila di hadapannya. Tangannya menepuk-nepuk paha, lalu beralih ke meja, benar-benar persis seperti orang kesetanan. Dia mengernyit, tidak mengerti dengan sikap orang itu. Di lain sisi, ketakutan agak menyelip dalam dirinya.

"Kau pikir aku menunjukkannya padamu tanpa punya cadangan? Aku punya banyak. BANYAK. Bahkan cukup untuk menempelkannya di seluruh dinding kota ini, kalau kau mau. Ah tapi, di zaman seperti sekarang, hanya butuh satu unggahan di web dan namamu akan menjadi sorotan dunia. Bukan begitu? Ini menyenangkan, mengerjai orang yang otaknya terlalu sering diistirahatkan."

Tangannya mengepal kencang. Semakin dibiarkan, orang di hadapannya benar-benar semakin membuatnya hilang kesabaran. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan nada tajam.

Orang itu mengangkat bahu. "Tentu saja keuntungan. Apa otakmu itu benar-benar tidak bisa dipakai untuk berpikir?"

"Keuntungan apa yang kau dapat dengan berita ini dan memanggilku kemari? Kelihatannya kau yang bodoh."

Lagi, orang itu tertawa. "Sudah kubilang, kerja otakmu sangat buruk. Tentu keuntungannya tidak akan seberapa kalau aku langsung menyebarkannya. Maka itu, berita ini masih kutahan. Setidaknya penawaran yang kuberikan membuat kita sama-sama untung." Melihat lawan bicaranya masih mengernyit, dia tertawa lalu menggumam, "Bodoh. Begini, aku akan merahasiakannya saat ini karena kau sedang ada di puncak karier, dan baru akan kukeluarkan kalau ... sinarmu sudah mulai meredup. Kalau cukup beruntung, skandal ini justru akan membawa namamu kembali terngiang di pasaran. Tapi selama itu, kau harus memberi sokongan dana untuk perusahaan ini. Menarik, kan?"

"Aku tidak punya uang sebanyak itu," jawabnya cepat, acuh tak acuh.

Orang itu mengangguk-angguk. "Kalau begitu akan kuwujudkan ucapanmu. Kau tidak akan punya uang sebanyak itu, karena namamu akan berada di dasar jurang besok pagi. Ah, atau mungkin nanti malam, kalau aku mood-ku sedang bagus."

Let Us Be Happy ; 우리가 ... 행복하자Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang