Masa percobaan. Eun Hyo hampir mendengus geli saat mendengar jawaban itu dari Seong Joon. Mereka pikir itu kantor yang sedang menguji pekerja magang sebelum menjadi karyawan tetap atau bagaimana? Lucu sekali.
Kalau bukan karena keadaan yang sangat mengimpit seperti sekarang, Eun Hyo juga tidak akan mau kembali pada pekerjaan sejenis itu. Pura-pura ramah dan berdiri selama berjam-jam sambil melakukan aktivitas yang berulang sama sekali bukan hal yang disukai Eun Hyo. Apalagi tidak bisa memakai earphone dan terpaksa harus mendengarkan percakapan orang-orang di sekitar, itu kenyataan paling buruk.
Dari sekian banyak hal di dunia, sebenarnya itu hal yang paling dibenci Eun Hyo. Percakapan orang-orang yang tidak penting, yang kebanyakan hanya mencampuri urusan orang lain secara berlebihan membuatnya muak pada dunia. Kenapa orang-orang selalu merasa seheroik itu untuk berkomentar, bahkan menyalahkan keputusan seseorang, padahal mereka tidak tahu sama sekali kondisinya dan tidak pernah berada di posisi yang sama? Manusia hanya tahu menyalahkan, tanpa pernah memikirkan orang lain.
Tapi sudahlah. Keputusannya untuk menerima persyaratan itu membawanya pada Seven Eleven tempat Seong Joon bekerja sekarang. Saat membuka pintu, gadis di belakang mesin kasir itu tidak tersenyum, bahkan menoleh ke arahnya pun tidak. Lihat, kan? Beginilah manusia. Kalau Eun Hyo datang ke sini sebagai pelanggan, tentu dia akan mendapat sapaan ramah beserta senyum yang dibuat-buat. Tapi lihat sekarang, sikap asli gadis itu sudah terlihat, bahkan sebelum dia mulai bekerja di sini.
"Kau bisa mulai dengan menggantikanku di sini. Bukan pekerjaan yang sulit, kau hanya harus menghitung setiap belanjaan orang dan memasukkannya ke plastik," ujar Ji Yeol tiba-tiba, sambil meninggalkan posisinya.
Sejak Eun Hyo masuk sebenarnya dia sudah memperhatikan. Gadis itu tidak membawa apa-apa ke sini, tas kecil pun tidak. Jadi tidak keterlaluan kalau menyuruhnya langsung bekerja karena tidak ada barang yang harus ditaruhnya di ruang belakang. Lagi pula seperti yang diucapkannya tadi, yang diperintahkannya bukan pekerjaan sulit. Kalau ini saja tidak bisa dilakukan, maka jelas dia tidak boleh bertahan di sini.
Tanpa melirik Ji Yeol, Eun Hyo menempati posisi di balik meja kasir. Matahari sudah meninggalkan langit, dan menurut pengalaman Eun Hyo dulu, sekaranglah waktu paling sibuk di toko kecil seperti ini. Orang-orang mulai pulang dari kantornya dan selagi dalam perjalanan ke rumah atau ke stasiun, mereka bisa saja mampir ke sini untuk membeli minuman.
Bel di pintu berdenting, membawa pembeli pertama memasuki toko. Eun Hyo menatapnya dan menundukkan kepala sekilas untuk memberi salam. Orang itu berputar-putar cukup lama hingga akhirnya membawa sebotol minuman ke hadapan Eun Hyo.
Tanpa bicara apa pun, Eun Hyo menghitung minuman yang dibeli orang itu. "Terima kasih. Silakan datang kembali," ucapnya.
Namun pembeli itu tidak juga pergi. "Bisakah aku meminta plastik?"
Eun Hyo menatap orang itu dengan kening berkerut. "Bukankah itu pemborosan? Kau hanya membeli sebotol minuman yang bisa dibawa-bawa atau masukkan ke tas atau bahkan saku mantel."
Pembeli itu tampak tidak senang dengan jawaban Eun Hyo, tapi memilih tidak menjawab dan pergi. "Aish ... aku bahkan tidak punya cukup waktu untuk berdebat dengannya," umpatnya sebelum meninggalkan toko.
Dari belakang, Ji Yeol menyaksikan itu dan berdecak tanpa henti. Apalagi ketika melihat ekspresi Eun Hyo yang tidak berubah. Dia bahkan tidak merasa bersalah setelah mengirim pembeli itu pergi, lengkap dengan umpatannya. Dilihat dari sisi mana pun, gadis itu terlalu santai. Sepertinya dia tidak pernah punya rasa bersalah, dan mungkin seluruh isi dunia ini adalah musuh baginya.
"Kau lihat, Oppa? Dia bahkan tidak merasa bersalah. Aku yakin keputusanmu untuk membantunya bekerja di sini benar-benar salah. Aku berani bertaruh, dia bahkan tidak akan bertahan selama seminggu," bisim Ji Yeol pada Seong Joon yang sedang menyusun barang bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Us Be Happy ; 우리가 ... 행복하자
General FictionSeorang pemuda datang padanya dengan tangan penuh luka. Tanpa pernah membuat kesalahan, pemuda itu terus meminta maaf, membuat dirinya mulai penasaran. Pemuda itu telah mengusik hatinya. Seorang gadis masuk dengan tatapan kelam dan langkah seolah ta...