[9] Like a Crazy / 미친 것 같다

294 46 5
                                    

"Oh, kau tinggal di daerah sini?" Seong Joon tidak menyangka akan bertemu secara kebetulan dengan Eun Hyo di taman Naksan ini.

KAU TINGGAL DI DAERAH SINI?! ulang Eun Hyo dalam hati dengan nada tinggi. Dia tidak menyangka kalau Seong Joon orang yang sepelupa itu. Wajahnya terlihat santai ketika bertanya, seperti tidak ada tanda-tanda akan mengingat, apalagi bercanda. Sepertinya juga dia bukan tipe orang yang akan memakai candaan seperti itu.

Eun Hyo mengangguk dengan wajah jengkel yang kentara. "Kau bahkan pernah datang ke sana," sindirnya.

Kening Seong Joon berkerut dalam. Kembali dia mengorek ingatannya, mencari sampai sudut-sudut terdalam. Entah apa yang salah dengan otaknya hari ini, kenapa selalu kosong mendadak saat dia ingin memikirkan sesuatu. Hingga akhirnya sekelebat bayangan itu datang. Waktu dia membawakan belanjaan Eun Hyo.

"Ah, ya. Karena kantongmu sobek, aku membawakan belanjaanmu sampai rumah. Sekarang aku ingat. Maaf," ujar Seong Joon penuh sesal. Tangannya memegang tengkuk, tidak tahu harus berbuat apa.

Apa hanya itu yang diingatnya? Eun Hyo bertanya dalam hati. Entah bagaimana, mendapati kenyataan Seong Joon tidak ingat pernah ke rumahnya sampai membantu memperbaiki leding dan makan ramyeon bersama membuatnya kesal. Bagaimana seseorang bisa dengan begitu mudah lupa padahal kejadiannya belum lama berlalu.

Namun Eun Hyo tetap Eun Hyo. Dia tidak merasa perlu untuk memperjelas semuanya dengan Seong Joon. Untuk apa? Kalau memang lelaki itu tidak mengingatnya, berarti memang itu bukan hal yang istimewa. Mungkin dia sering melakukannya terhadap orang lain. Mungkin dia terlalu baik hati hingga sering memberi bantuan pada perempuan mana pun yang membutuhkan sampai tidak bisa mengingat bagian Eun Hyo.

"Kau ke sini untuk jalan-jalan?" tanya Seong Joon, yang tiba-tiba merasa pertanyaan itu salah. Jawabannya sudah jelas, kan? Bodoh, umpatnya dalam hati.

"Untuk tidur."

Nah, kan. Jawaban itu membuat umpatan dalam diri Seong Joon semakin kencang. Dia memang benar-benar memilih pertanyaan yang bodoh. Tentu saja ke taman untuk berjalan-jalan. Sebuntu apa pun dalam memilih topik pembicaraan, harusnya dia bisa lebih pintar. Apalagi yang dihadapi perempuan seperti Eun Hyo.

Eun Hyo berjalan lebih dulu, ke arah puncak taman Naksan lagi. Seong Joon ingin mengikuti, tapi itu juga artinya dia harus kembali bertemu dengan dokter Jae In, dan dia tidak mau itu. Dengan cepat dia meraih pergelangan tangan Eun Hyo, walau setelahnya dia merasa lagi-lagi telah memilih sesuatu yang salah.

Dengan alis bertaut, Eun Hyo menoleh. Matanya menatap tajam pada tangan Seong Joon yang mencekal pergelangan tangannya. Lewat tatapan itu, dia bertanya. Tanpa suara, dia mengintimidasi. Dan itu berhasil memengaruhi Seong Joon, yang langsung melepaskan tangannya dan mengangguk berkali-kali untuk menyampaikan maaf.

"Aku hanya ingin mengajakmu minum kopi bersama, tapi sepertinya caraku salah. Maaf, itu hanya refleks. Aku melakukannya tanpa berpikir," sesal Seong Joon.

"Untuk apa diberikan otak kalau kau tidak menggunakannya sebelum melakukan sesuatu? Tahukah kau dunia jadi tambah kacau karena orang-orang bertindak sebelum berpikir, sepertimu?" Suara Eun Hyo terdengar tajam, dingin, dan datar. Begitu pula tatapannya.

Seong Joon terdiam. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Lagi-lagi, dia melakukan kesalahan. Bukan hanya tindakannya barusan, tapi pilihan kata-katanya juga, membuat emosi Eun Hyo semakin tersulut. Kapan dia baru akan melakukan segala sesuatu dengan benar? Kapan dia baru bisa tidak memancing emosi orang-orang di sekitarnya?

Masih dengan tatapan tajam, Eun Hyo melirik ke arah Seong Joon yang menunduk semakin dalam. Wajahnya disembunyikan sedemikian rupa hingga yang terlihat hanya rambut tebalnya yang agak ikal. Sampai saat ini Eun Hyo masih heran, kenapa lelaki itu sepertinya mudah sekali terintimidasi? Ketika orang meninggikan suara dan memperlihatkan raut kesal sedikit saja, dia akan langsung meminta maaf berkali-kali lalu menunduk dalam-dalam, seperti sekarang ini. Persis seperti tersangka yang mendapat tuduhan dari banyak orang, atau anak-anak yang sering dirundung oleh teman-temannya.

Let Us Be Happy ; 우리가 ... 행복하자Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang