"Aku ... bolehkah membawakan belanjaan itu sampai rumahmu?"
Pilihan kata yang unik, batin Eun Hyo. Kalau biasanya orang akan bertanya, bolehkah aku mengantar atau mampir ke rumahmu, atau sejenisnya, lelaki itu malah memilih kata belanjaan sebagai inti pertanyaannya. Seolah yang menjadi pusat perhatiannya memang belanjaan Eun Hyo. Atau mungkin dia memang terlalu menghayati pekerjaannya sebagai kasir di Seven Eleven, sehingga merasa memastikan belanjaan itu tiba di rumah pembeli dengan selamat masih jadi bagian dari tugasnya.
Sementara Eun Hyo hanya menatap dengan alis terangkat setengah dan belum merespons, lelaki itu terlihat bergerak-gerak tidak tenang. Jelas sekali salah tingkah karena pertanyaan yang dilontarkannya barusan. Eun Hyo kembali menunggu. Entah kenapa kali ini dia tertarik untuk sedikit mengerjai lelaki di hadapannya, menanti kata-kata apa lagi yang akan dipilihnya untuk menambal kata-kata –yang sepertinya dia sendiri anggap salah-- tadi.
"Itu ... kelihatan berat," ujar lelaki itu akhirnya, sambil terus melihat ke arah plastik belanjaan Eun Hyo.
Kali ini satu tawa kecil lolos dari bibir Eun Hyo. Aneh. Biasanya dia tidak bereaksi seperti ini. Bahkan menunggu dan membiarkan orang berbicara di luar bahasan pekerjaan saja tidak. Ya, karena itu Eun Hyo tidak punya satu pun teman. Baginya, memiliki teman atau apa pun julukannya yang memiliki hubungan dekat hanya membuang waktu. Memberi diri sendiri rasa sakit ketika akhirnya nanti akan terpisah atau lebih menyedihkannya lagi, ditinggalkan.
Hidup sendiri sejak remaja membentuk kepercayaan dan karakter Eun Hyo yang itu. Dia tidak pernah percaya ketika ada yang membahas masalah rasa sayang sepenuh hati, cinta sampai mati yang tidak akan pernah meninggalkan. Semua hanya omong kosong baginya. Nyatanya, di dunia ini banyak sekali orang yang pergi, bahkan ketika mereka seharusnya punya tanggung jawab untuk tetap tinggal. Menurutnya, kalau dengan adanya kewajiban saja rasa sayang itu tidak bisa tumbuh, maka mustahil seseorang akan bertahan dengan senang hati. Selalu bersama bahkan di masa tersulit? Itu hanya bualan yang dilontarkan orang-orang ketika mereka berada di puncak kebahagiaan. Bila sudah bosan, kata-kata itu akan terlupakan dengan mudah.
Eun Hyo tidak menjawab. Dia hanya membalikkan tubuh dan kembali berjalan menapaki tanjakan terjal yang menguras napas. Sedangkan dari belakang, langkah lelaki itu terdengar, dengan jarak besar-besar, sesuai dengan tubuhnya yang jangkung. Eun Hyo merasakan kantong plastik di tangannya diangkat lalu ditarik perlahan dari genggamannya. Saat menemukan lelaki itu tersenyum kikuk di sebelahnya, Eun Hyo akhirnya melepaskan kantong itu. Entahlah, sesuatu dari diri lelaki itu, yang di mata Eun Hyo terlihat benar-benar tulus dan baik membuatnya memberi pengecualian kali ini. Lagi pula tidak akan ada pengaruhnya, ini hanya hal kecil, gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan diri.
Setelah belanjaan itu berpindah tangan, Eun Hyo kembali menjejalkan tangannya yang kosong ke saku mantel. Namun pandangannya tanpa sengaja menyenggol tangan besar lelaki itu. Sudah kembali memakai sarung tangan. Sejujurnya, hal itu membuat Eun Hyo semakin penasaran. Seharusnya normal di suhu yang seringnya minus saat musim dingin seperti ini, tapi di dalam ruangan hangat dan tak pernah melepas sarung tangan, itu terlalu aneh, kan? Belum lagi tingkah gelagapan dan paniknya tadi saat Eun Hyo menanyakan dan melihat tangannya.
"Yang tadi ...."
"Aku sudah berutang padamu masalah ahjumma itu dua hari lalu," potong lelaki itu cepat sebelum Eun Hyo menyelesaikan kata-katanya, membuat Eun Hyo hanya menggeleng-geleng. Ada nada menggantung di ujung ucapan lelaki itu. Lalu, dengan raut wajah takut-takut, suaranya kembali terdengar. "Bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Agassi." Eun Hyo menjawab dengan nada datar, walau sebenarnya ada tawa di ujung bibirnya ketika melihat ekspresi lelaki itu berubah. Agak kecewa, tapi lebih banyak malu dan ... takut? Entahlah. Eun Hyo tahu, yang dimaksud lelaki itu adalah namanya. Dia hanya ingin mengerjai sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Us Be Happy ; 우리가 ... 행복하자
Fiction généraleSeorang pemuda datang padanya dengan tangan penuh luka. Tanpa pernah membuat kesalahan, pemuda itu terus meminta maaf, membuat dirinya mulai penasaran. Pemuda itu telah mengusik hatinya. Seorang gadis masuk dengan tatapan kelam dan langkah seolah ta...