-10- Shy

7 0 0
                                    

"Gue bukan anak papa gue, Jun." ucap Juni pelan.

Juna tampak terkejut mendengar ucapan Juni. Bagaimana bisa Ronal bukan papa Juni? Dan laki-laki yang dianggap kakak oleh Juni itu anak dari siapa? Mengapa bisa terjadi? Informasi apa yang tidak dia tahu?

Berbagai pertanyaan muncul di otak Juna. Juna pun bingung dengan tuturab Juni tadi.

"Kenapa bisa Jun?" tanya Juna dengan pelan, mencoba agar Juni mau bercerita.

"Ya bisalah Juna. Mama itu nikah lagi waktu gue umur 2 tahun. Waktu itu gue nggak tahu apa-apa 'kan. Dan gue tahu semua ini pas gue pulang ke rumah nenek. Tetangga disana kayak ngegosip tentang gue dan keluarga gue. Dan ternyata bener, Jun." ucap Juni dengan lemas.

Ia menghela nafas, "Gue udah buktiin semuanya, Jun. Gue udah cari tahu dan ternyata bener. Gue ini beda banget dari papa. Kulit papa nggak seputih gue. Mata gue nggak seperti matanya papa, malah mata gue mirip sama kakak gue. Dan kalau gue emang anaknya, pasti paling nggak ada satu gen yang menurun dari papa. Ini sama sekali nggak ada, Jun. Keluarga papa gue sangat ahli di bidang bisnis. Lah gue? Gue malah nggak tertarik dengan semua itu. Bahkan gue nggak mau tahu tentang hal-hal seperti itu. Itu juga alasan kenapa nilai ekonomi gue nggak pernah bisa sempurna." cerita Juni panjang. Juna masih setia mendengarkan tanpa mengomentari.

"Dan asal lo tahu, setelah gue tahu semua itu, gue baru ingat kalau waktu kecil dulu, gue lagi pakek baju kuning dan sepatu warna putih. Lagi nangis digendongan paman gue dan saat itu gue foto bersama di sebuah acara pernikahan. Dan saat gue lihat album pernikahan mama, ternyata bener. Yang berbaju kuning lagi nangis itu gue. Dan yang menikah itu mama sama papa. Logika aja, gimana gue bisa lahir duluan kalau mereka baru aja nikah? Nggak mungkin 'kan kalau gue ini anak haram yang lahir diluar nikah?" tutur Juni. Air matanya sudah ada di kelopak mata dan bersiap keluar. Biar saja ia menangis di depan Juna. Karena air itu sudah tak bisa ditahan.

"Dan sebelum-sebelum itu, gue selalu di kirim pesan oleh orang yang ngakunya ayah gue. Dan emang bener itu ayah gue. Ayah kandung gue dan kakak gue. Gue juga sadar kalau ternyata gue punya kakak, dan mama bilang itu kakak kandung, tapi kakak gue nggak pernah tinggal dirumah gue. Dan mama nggak mau kalau gue manggil ayah gue dengan sebutan 'ayah'. Kalau seumpama gue ketemu ayah gue dan disitu ada papa, gue nggak boleh manggil ayah dengan sebutan 'ayah', gue disuruh manggil dia dengan sebutan 'paman'. Gimana nggak sakit Jun kalau kayak gitu?"

"Jadi, sikap dingin lo ke om Ronal itu--"

"Itu bukan karena gue benci dia jadi papa gue." potong Juni cepat. Ia tidak mau Juna berpikir yang tidak sejalan dengan pikirannya.

"Itu karena nyokap bokap gue selalu mentingin pekerjaan dari pada gue. Gue cuma dikasih uang, uang, dan uang. Nggak pernah gue dapet kasih sayang dari mama dan papa. Mereka mikir gue bisa bahagia dengan adanya uang. Padahal mereka salah. Gue nggak bahagia sama uang-uang itu." Ucap Juni sambil menyeka air matanya yang terus keluar.

"Lebih baik gue miskin dan dapet kasih sayang orang tua, daripada gue kaya tapi nggak dapet kasih sayang orangtua." Ucap Juni dengan sesengukan.

"Apa setelah lo tahu semua ini, lo bakal nggak temenan lagi sama gue?" tanya Juni dengan menatap Juna dengan tatapn miris.

"Cuma orang nggak punya otak yang bakal ngejauhin lo karena hal kayak gitu." jawab Juna sambil merangkum wajah cantik Juni.

Juna menghapus air mata yang ada di pipi Juni dengan lembut.

"Sebesar apapun masalah lo, dan seburuk apapun lo, gue tetep jadi temen lo. Dan lo, jangan pernah minder karena masalah lo itu." ucap Juna menenangkan Juni.

Juni tersenyum dengan manis. Membuat pikiran Juna berkelana kemana-mana. Juna langsung membuang pikiran kotor itu. Ia langsung berpikir kenapa Juni bisa ada di sini, dan bagaimana bisa dia tahu kalau Juna sedang di atap gedung.

JUNA & JUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang