Fantasi

1.6K 173 26
                                    



Di hari itu, Levi pulang amat cepat. Dia berlari ke gedung apartemen yang awalnya paling enggan dia datangi. Dia tergopoh-gopoh menekan tombol lift. Kakinya bergerak-gerak gelisah menunggu lift mengantarnya ke lantai atas. Saat pintu lift terbuka bukan di lantai yang dituju, dia mendesis sembari menundukkan kepala, tak mau bermasalah dengan penumpang lift lain. Seorang ibu-ibu beserta anaknya masuk. Di denting lift berikutnya, Levi maju ke depan pintu, dan langsung menyerobot ketika pintu baru terbuka sedikit, membuat ibu-ibu di belakangnya geleng-geleng.

Levi hampir meninju tiap balok angka di pintu, sampai terdengar bunyi ketukan keras, dan kotak pengaman pintu itu mengeluarkan bunyi bip dengan lampu merah, membuat Levi melayangkan satu tendangan. Dia mengulangi kata kunci, kali ini sedikit pelan. Kemudian pintu terbuka dan Levi berlari melesat ke ruang tengah. Kosong. Levi berlari ke kamar. Kosong. Levi berlari ke dapur. Kosong. Lalu dia kembali ke ruang tengah mendapati jam digital di atas TV menunjukkan jam pulang Erwin Smith masih jauh.

Levi menjatuhkan diri di sofa, melempar tasnya ke sembarang tempat, menekan keinginan bodoh menghubungi Erwin sekarang dan meminta cepat-cepat pulang, atau kalau bisa tinggalkan saja apapun yang sedang dikerjakannya, tapi itu terlalu bodoh. Sama sekali tak terdengar seperti seorang Levi Ackerman.

Jadi, dia menunggu sampai hari menjadi gelap. Di segala penjuru ruangan itu gelap. Ketika Erwin Smith pulang, dia tak tahu apartemennya sedang kedatangan tamu. Erwin melepas ikatan dasi sembari berjalan ke arah sofa tanpa repot-repot menyalakan lampu. Erwin tidak pernah melakukan itu. Erwin hidup sendiri dan tahu betul tiap posisi benda di ruangannya. Tapi begitu tiba di sofa...

"Lama sekali, Erwin Smith."

"Lama?"

Levi beringsut, menarik dasi yang ikatannya setengah terbuka, menindih Erwin di bawahnya dan melupakan seragam yang mereka kenakan, mengabaikan keringat, mengacuhkan rasa-rasa di mulut. Ada bau bir dan sushi. Levi benci itu, tapi pengecualian untuk kali ini, pikiran yang membutakannya. Hasrat yang datang menggebu-gebu, menarik kedua tangannya untuk membuang semua pakaian.

"Sentuh aku..."

Levi menuntun tangan lebar itu meraba tiap bagian tubuhnya sampai dia melenguh. Bagaimana jika tangan ini milik Eren? Levi mengerang keenakan ketika tangan Erwin menyapu lekuk pantatnya dan mencumbu pentil susunya. Bagaimana jika lidah itu milik Eren? Fantasi demi fantasi melompat cepat, dan di antaranya tersalip bayangan Eren tadi siang. Bentuk tegas wajah Eren, jari-jemarinya, jakunnya, tengkuk lehernya, dan suaranya. Jelas suara Eren tak senyaring dulu. Suaranya terdengar berat dan membangunkan gairah. Apa yang bisa dibuat suara itu ketika Levi membuka sabuk celananya?

Levi termenung menonton apa yang tersimpan di balik celana Erwin. Kira-kira, seperti apa milik Eren?


.

.

ANXIETY

"Love. Obsession. Uncertainty."

.

.



"Heh, Pendek, apa penismu baik-baik saja?"

Levi tak menggubris kalimat pertama Hange di pagi hari. Padahal, sebenernya pikirannya menyahut amat cepat. Tentu saja, selama ini Levi telah menggunakan Erwin Smith kapanpun dia merasa butuh pelepas penat, dan Levi berulang kali berdecak lalu berkata, "Ah, kau berisik sekali!" tiap kali Erwin bertanya "Kau yakin baik-baik saja? Tidak biasanya kau meminta sex sesering ini."

Jika Erwin yang bertanya, apa penismu baik-baik saja? Kemungkinan besar Levi bakal menjawab jujur. Tidak, Erwin. Sama sekali tidak baik-baik saja gara-gara si Jaeger!

"Kau masih belum membuat pergerakan ya?" kata Hange lagi sembari memidahkan letak buku di meja Levi. "Sudah hampir sebulan nih..."

Levi berbenah, menyiapkan buku dan beberapa media pembelajaran yang akan digunakannya di jam pertama sebentar lagi, dan menyibukkan isi pikirannya tentang rencana pembelajaran di kelas nanti, dan bukannya dipenuhi bayanng-bayang tubuh dewasa Eren Jaeger.

"Bahkan anak-anak SMP di sini lebih sigap daripada kau, Levi. aku rasa, mereka sudah punya nomer ponsel Eren. Padahal mereka masih perawan yang bahkan tak tahu cara meneguk sake."

"Urusi saja urusanmu."

"Tadinya aku mau begitu. Tapi sudah hampir sebulan ini, pertanyaan Eren selalu saja tentang kau, sementara kau masih saja berpura-pura tak mengenalnya. Membosankan."

"Serius?" Levi berbalik, hampir menjatuhkan sebuah buka ketika kepalanya berputar cepat menyahut kalimat Hange.

Hange, si guru yang paling suka bercanda ini, terkikik dalam hati. Memainkan gejolak perasaan remaja adalah hobinya, tapi memainkan luapan cinta bapak-bapak macam Levi Ackerman adalah hobi khususnya. Dengan seringai, dan tanpa memberi petunjuk apapun lagi, Hange menjawab "Buktikan saja sendiri."

.

.

.

.


HAAAAAAAIII!!!

Mungkin pembaca ada yang cringe ketika saya menulis 'bapak-bapak'. HAHAHAHAHAHAHA (Ketawa dengan suara nge-bass)

Pada awalnya, saya nggak ada niatan menulis sex scene, tapi... saya kehilangan gairah untuk melangkah ke arah mana untuk jalan cerita ini. So.... Jajajaaang!

Semoga fiksi ini bisa saya update seminggu sekali. Stay tune! Tunggu minggu depan!!!!!!!!!!!! (kalemin tanda serunya, massss)



ANXIETYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang