10/09/18 11:46 pm
ANXIETY
"Love. Obsession. Uncertainty."
.
.
Original characters and story of
Shingeki No Kyojin by
Hajime Isayama
A N X I E T Y (A Fanfiction)
By Kohan44
.
.
Erwin menyulut batang rokok yang ke... ah, Erwin tak ingat lagi sudah berapa batang rokok yang dihisap. Batang demi batang berubah menjadi abu dan debu. Dia sesap menunggu waktu berlalu.
"Eren." Erwin menyudahi batang terakhirnya dengan menyebut nama itu. Rokok yang masih panjang itu bengkok mematuk dasar asbak.
Levi tercekat, tak mengira nama itu diketahui Erwin.
"Kau akan menemuinya?" kata Erwin.
"Aku tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan."
"Dia laki-laki yang waktu itu, bukan? Di seberang jalan."
"Erwin," Levi memenggal, berusaha memotong kalimat apapun yang selanjutnya bakal dilontarkan Erwin.
"Masa lalumu?" Erwin balik memotong, masih memainkan rokok di asbak seolah bara apinya masih menyala. "Alasan dari hasrat seksualmu?"
"Erwin, aku ti—"
"Aku mengerti." Erwin menyela lagi. Keningnya mengkerut, dan dengan tenang (padahal isi kepalanya berhamburan panik)berbalik memunggungi Levi, diam-diam menarik napas. "Aku telah bersamamu, satu atap denganmu, berjuang denganmu, dan bahkan sekarang..." nadanya terdengar menggantung, dan Levi tak yakin apakah harus menunggu atau menyelanya. Hingga di antara mereka tak ada yang berani berkata duluan. Detik demi detik menyeret mereka berpindah, berubah dalam pikiran, dan jarak dalam hubungan mereka pun tak lagi sama.
"Tidak. Aku menemuinya bukan karena apa-apa." Akhirnya Levi berkata. "Kau tahu, semua yang terjadi di antara kami hanya ada di masa lalu."
Dan jika begitu, Erwin pikir, hubungan Levi dengan Erwin pun sama. Hari ini mereka bisa baik-baik saja, tapi di masa yang akan datang, mungkin Levi akan mengucapkan kalimat serupa untuk hubungannya dengan Erwin, "kami hanya ada di masa lalu."
"Levi,"
Erwin berbalik untuk merangkul Levi dan mencium tengkuk lehernya. Erwin tak ingin penjelasan. Erwin tak ingin alasan. Erwin tak ingin apapun selain Levi dan hatinya menetap di sini.
"Aku hampir terlambat." Levi mendorongnya dan meloloskan diri. Tanpa berbalik sekalipun, Levi pergi dan mengunci pintu di belakang, meninggalkan Erwin yang masih di ranjang dan merindukan kisah mereka semalam.
.
.
ANXIETY
"Love. Obsession. Uncertainty."
.
.
Uap panas di cangkir masih mengepul ketika Levi bertanya dingin, "Ada apa?"
"Pelan-pelan saja..." Eren membalasnya enteng, tersenyum ramah seperti yang biasa dilakukannya di sekolah. "Nikmati dulu tehmu."
"Aku tidak bisa lama."
Eren tak menatapnya ketika Levi berkata demikian. Sebab, dengan cepat Eren mampu memvisualisaikan kemungkinan kenapa Levi tak bisa berlama-lama menghabiskan akhir pekannya duduk-duduk sambil mengobrol dengan rekan sejawat.
"Kau tidak bisa bersantai, ya?" Eren hanya mampu merespon sependek itu, dan imajinasinya terbang liar ke bagian dimana Levi duduk di kursi penumpang dan seorang lak-laki berjam tangan mahal menyetir. Bayangan itu menguat jelas ketika Levi menambahkan jawaban, "Caramu dan caraku bersantai memang berbeda."
"Oh," Eren mendengus dan entah ke berapa kalinya merutuk dalam hati soal mengapa dirinya lebih lambat menyapa matahari daripada laki-laki itu. "Seperti apa?"
Ponsel Levi di dekat cangkir berdering, dan Eren bisa mencuri-curi pandang menemukan nama Erwin tertera di layar.
"Ini tanda aku harus pergi. Aku sudah memberimu waktu, dan kau membuangnya percuma."
"Hey! Levi!"
Mata Eren mengikuti Levi keluar kafe sampai pria itu memasuki sebuah mobil. Eren ingin berlari dan menghentikan, tapi Eren melihat jelas siapa di kursi pengemudi. Eren pun mendesah. Ini tidak lagi bisa dikatakan balas dendam. Eren tak pernah benar-benar mampu membalas dendam. Semua rencana yang disusunnya untuk hari ini, bagai terbakar api sampai hangus menjadi debu.
Ketika mobil itu melaju, Eren bersumpah suatu hari akan mengendarai mobil yang lebih mahal daripada yang dikendarai Levi sekarang.
"Bangsat."
.
.
ANXIETY
"Love. Obsession. Uncertainty."
.
.
Sebagi pria dewasa, Levi menyadari ada sesuatu salah dalam dirinya. Tapi apapun jenis dan nama sebutan masalah itu, Levi tak peduli. Sudah cukup hidup menyukai sesama jenis dan tak pernah bisa dengan pasti merencanakan masa depan. Jadi, sesekali dia pergi ke pub atau mengunjungi Erwin Smith. Minum. Melantur. Seks. Sambil berusaha memecah potongan demi potongan isi pikiran dan mengupasnya sehingga Levi bisa membuang apa yang tidak perlu.
Levi menuntun kepala kemaluan Erwin, mengarahkannya ke lubang anus yang telah dia lumasi dengan tangannya sendiri. Levi tak ingat lagi apa perbedaan rasa ngeseks dengan laki-laki dan perempuan. Apapun yang terjadi selama proses, Levi akan menghantam pantatnya keras-keras dan mecengkram isinya sambil melenguh sampai pasangannya kegilaan merasakan nikmat dunia.
Seks ini...
"Levi..." Erwin berbisik di dekat telinganya, sampai nafas hangatnya membuat Levi merinding lalu secepat kilat wajah Eren melintas mengacaukan seluruh perasaannya, mengubah lenguhannya menjadi teriakan frustasi.
"Erwin!"
Genjotannya pun menjadi liar, semata-mata membuang bayangan itu.
Erwin yang berada di bawahnya mendorong Levi dan balik menyerang sampai pejuhnya keluar dan Erwin pun menemukan air di sudut mata Levi.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXIETY
FanfictionMereka adalah guru dan murid sebelum menjadi kekasih. Sekarang mereka bukan siapa-siapa, cuma rekan kerja dan berpura-pura masa lalu tak pernah ada. Tapi Eren, pikiran dan tubuhnya, telah tumbuh dewasa. Bagaimana Levi harus menghadapinya bersama pe...