Tawa : Tidak Sama

688 29 1
                                    

Untuk yang senang menertawakan orang lain, entah sekadar bercanda atau bukan,

selamat tertawa.

Beberapa tahun belakangan, saya baru ngeh bercanda itu tidak selalu membawa hal baik. Lelucon yang dikeluarkan dari mulut-mulut mereka itu, semacam racun.

Buktinya, banyak perundungan yang mengatasnamakan bercanda untuk perlakuan mereka.

"Gue cuma bercanda."

"Halah, gitu doang baper."

Rasanya ingin membalas, "Lu pikir manusia itu bahan candaan apa?! Kalau kata lu iya, diri lu aja yang lu bercandain. Bebas. Nggak merugikan orang lain. Orang lain nyaman nyaman aja dengan kehidupannya."

Ya. Untuk yang bahagia karena senang menertawakan orang lain, entah sekadar bercanda atau bukan,

selamat bahagia.

H a h a.

Bagi mereka, candaan mereka itu hanya angin lalu. Mudah terhapus oleh waktu, kemudian mereka lupa. Seakan-akan tidak pernah terjadi. Tapi, bagi yang "dibercandai" itu adalah hal memalukan yang mungkin saja bisa terus tersimpan di memori otak sampai nanti.

Sedikit banyak orang yang terganggu psikologisnya akibat candaan (padahal itu hal yang diucapkan spontan atau tidak disengaja).

Tidak semua bisa menerima canda dengan tawa,

juga, tidak semua bisa menerima tawa dengan tawa lagi.

E.

¤¤

a.c [author curcol]


Begini-begini, bukan berarti saya tidak bisa bercanda. Tapi, semua itu ada batasannya. Mana yang benar-benar lucu mana yang tidak, mana yang secara tidak langsung menyakiti mana yang tidak. Saya pun pernah menjadi si objek. Mereka tertawa lepas, tapi bagi saya itu sama sekali tidak lucu. Dan rasanya ingin sekali menyeleding mereka satu persatu!

Ini pengalaman pribadi saya yang berupa sebagian kecil dari pengaruh bercanda. Pernah suatu waktu di kelas saya tahun lalu, ya namanya anak remaja yang masih zaman "cie-ciean" itu adalah hal biasa, seharusnya. Meski begitu, pasti ada yang tidak dapat menerima "hal biasa" itu. Singkatnya, dua teman sekelas saya dicie-ciekan sampai seantero kelas penuh dengan tawa dan tepuk tangan plus sorak sorai. Si cowok biasa aja, cuma mesam mesem. Tapi si cewek di tempat duduknya, saya melihat dia menyeka air mata. Dan yang menempati bangku di belakang saya bilang, "Dia nangis? Ah elah, cuma bercanda juga.". Kurang lebih begitu, saya lupa percisnya.

Iya iya, saya sempat tertawa juga, tapi pas liat dia nangis sambil tertawa(?), saya langsung diam. Dan tidak semua melihat dia menangis. Ini benar-benar nangis loh ya, bukan karena tertawa berlebihan atau karena dia terhura.

See? Kekuatan candaan bisa membuat orang emosi (karena dia pernah marah akibat hal yang sama sebelumnya), lalu memendam amarah, dan mengeluarkannya melalui tangisan. Tambah-tambah dibilang cengeng, semakin membuat nggak nyaman dan dongkol hati setengah hidup. Padahal itu adalah hal yang sangat sangat klise. 

Intinya, kita tuh harus hati-hati sekali ketika berbicara. Kalau lagi bercanda, usahakan ngerem bercandanya, jangan digas terus.

#salamcurcol

Teriakan Aksara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang