It's Ok, Humans.

165 7 0
                                    

Katanya kita ini makhluk sosial. Kita tidak bisa hidup sendiri. Kita akan membutuhkan orang lain.
Memang iya, oh, jelas.

Tapi...  para Homo sapiens modern bisa memberi kita bantuan, juga bisa memberi kita rasa sakit. Hanya dari kalimat-kalimat sepele mampu membasahi luka yang sudah terkelupas. Hanya dari satu-dua kata ditambah tanda tanya mampu merestore memori dari arsip yang sudah tertumpuk di recycle bin.

Kemudian kita berpikir, apa akunya aja yang terlalu sensitif? Dewasa ini membuat kesensitivan kita melambung. Mudah emosi, mudah memikirkan banyak hal, barang tidak penting sekalipun. Kita merasa bisa mengatur diri. Namun, ketika kita tahu kebanyakan omongan orang lain merugikan kita sendiri, kita tetap merasa kesal. Bertanya-tanya, mengapa mereka terus berpengaruh? Harusnya aku jangan memedulikan mereka!

Kenapa tidak ada tempat yang nyaman untukku? Kenapa semua ini terasa begitu menyebalkan? Apa saat ini aku sedang mengeluh? Ayo, bangkit! Jangan ngeluh terus!

Sering kali kita bertengkar dengan diri sendiri. Mengakui bahwa diri kita sensitif, selepas itu saling menyangkal, tapi 'kan, tapi 'kan. Mengungkapkan siapa yang paling benar. Apa yang harus dilakukan ke depannya. Yang sebenarnya, itu adalah kemampuan diri manusia untuk bekerja sama hingga titik mencapai kompromi.

Sebanyak apa pun pikiran negatif yang kita miliki,

selama pada akhirnya kita memilih jalan yang baik dan benar,

selama kita tidak menyerah,

selama kita akhirnya tetap memegang teguh tujuan dan kebaikan,

it is ok, humans.

Rasa sakit dari manusia kepada manusia lainnya,

kenangan buruk yang berlalu-lalang,

kegagalan yang menumpahkan air mata dan memuncakkan frustrasi,

intinya adalah kita bisa bertahan untuk tetap menjadi manusia yang memiliki harapan.

"Lo berpikiran negatif, tapi tidak melakukan apa yang lo pikirkan, itu poin pentingnya."

E.

Teriakan Aksara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang