Bagian 3

197 23 1
                                    

Di salah satu meja kantin, pada jam istirahat pertama, Icha dan Melisa sama-sama membuka tabloid yang Melisa bawa sambil menunggu Tedy dan Fakhrul yang sedang mengambilkan pesanan mereka. Belakangan ini Melisa memang lagi suka berlangganan tabloid mingguan.

"Si Riki sama ceweknya itu lagi-lagi jadi model covernya ya?" tanya Icha yang sebenarnya tak perlu, karena jelas-jelas gambar besar Riki Sarib dan Dewi Surya Ningtyas di bagian depan tabloid itu sudah menjawab.

Icha menggeleng-gelengkan kepala, agak terpukau sejujurnya. Ia masih tak menyangka kalau Riki Sarib yang dulu pernah di sekolah ini, dan ia kenal, sekarang menjadi actor pendatang cukup popular, terlebih sejak bertunangan dengan Tyas.

"Lihatin apa, sih?" Widya dan Adi muncul bersamaan. Gadis itu duduk di sebelah Melisa sambil melirik ke tabloid tersebut, lalu, "Ohh..." gumamnya kemudian tak acuh setelah tahu apa yang diperhatikan dua temannya itu.

"Gue masih nggak nyangka sih, Wid, Riki bisa berubah gitu. Kayaknya dia sekarang nggak sama kayak dulu," Melisa meluahkan pemikirannya.

Widya hanya mendengus. Memangnya ia pikirin? Bukan urusannya. Sudah bagus lah, kalau Riki itu memang betul berubah dan bisa menemukan gadis dambaannya.

"Dan gue juga sama sekali nggak pernah dengar kabar miring tentang mereka, loh," tambah Icha, masih menekuri isi artikel tabloid tersebut. "Kayaknya mereka selalu harmonis, langgeng banget."

Widya menaikkan bola matanya. "Duh, nggak ada topik lain ya?"

Melisa dan Icha sama-sama tertawa geli melirik Widya, tahu kenapa gadis itu sebal.

"Kenapa, sih, lo? Kayaknya suka sensi tiap kita ngomongin Riki sama Tyas," ujar Melisa geli. "Cemburu apa gimana?"

Jelas saja ia langsung dipelototin Widya. Cemburu? Ya, mana mungkin lah! gerutu Widya dalam hati. Ia cuma malas saja membicarakan hal-hal yang berbau dengan mantan. Biarkan mereka dengan dunianya sendiri.

"Jangan-jangan elo nyesal, Wid, mutusin Riki?" goda Icha ikutan.

"Cha, jangan sampai garpu ini mampir ke kulit lo," kata Widya tenang seraya mengambil sebuah garpu dari tempat sendok.

Icha cengengesan. "Duile, Wid. Gitu aja, marah."

Icha kemudian baru tersadar kalau di hadapannya, Adi menatapnya. Bukan tatapan kesal atau marah, tapi entahlah. Icha meringis. "Maaf, Di. Bercanda doang, kok, heee...."

"Eh," Tahu-tahu Melisa menyikut lengan Icha. "Andre, tuh."

Membuat Icha mau tak mau jadi mengangkat kepala, memandang ke arah yang Melisa maksud. Di meja tak jauh dari mereka, nampak Andre baru datang dengan semangkok bakso, lalu duduk sendirian di sana.

Icha hanya diam, tak tahu harus mengatakan apa. Kan, itu bukan urusannya, kayaknya. Tadi, mereka, tepatnya Tedy dan Melisa mengajak Andre ke kantin bareng. Tapi, Andre tak bisa sebab dirinya dikerumuni oleh beberapa anak. Ya, biasa lah, namanya juga anak baru, masih jadi pusat perhatian.

"Kenapa dia makan sendirian aja, ya?" tanya Melisa bingung, yang lagi tak dijawab Icha karena merasa bukan urusannya.

"Oh, iya, yang mana, sih, anaknya? Katanya anak baru di kelas lo ya?" tanya Widya penasaran, turut memandang ke meja yang dimaksud Melisa. "Oh, itu?? Ganteng juga sih, ya."

Adi segera mendelik sebal, namun Widya tak acuh walau menyadarinya.

Tedy yang baru datang membawa pesanan Melisa dan punyanya sendiri, ikut menoleh ke meja di belakangnya itu. "Ajak dia juga (ke) sini lah," ujarnya, yang dijawab dengan anggukkan setuju oleh Melisa, lalu Widya dan Adi. Icha hanya diam, menutup tabloid Melisa, menyingkirkannya agar Fakhrul yang baru datang bisa meletakkan semangkok mie ayamnya di atas meja.

Lover's Sweet TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang