SANDI (40 TAHUN); ANGGOTA DPRD
PINTUNYA ditutup kembali. Sandi dan istrinya saling bertukar pandang. Mereka menunggu giliran mereka untuk masuk. Sandi sekilas menatap dua orang yang sedang duduk termengung di sudut ruangan: orangtua korban. Sang suami sedang merangkul istrinya sementara kepala sang istri sedang bersandar di bahu sang suami, tatapannya kosong dan matanya begitu sembab.
Ester—ibu mertua Sandi—sedang terduduk diam, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut perempuan tua itu semenjak mereka sampai di kantor. Dia terlalu lelah dengan semua proses ini. Sebagai orang pertama yang menemui jasad korban, Ester telah menjadi santapan utama para reporter berita. Kalau bukan karena anjing peliharaan milik Ester, jasad Annissa mungkin masih tersembunyi di dalam tanah, di tempat yang bukan seharusnya menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.
Di sebelah perempuan tua itu duduk istrinya Sandi yang bernama Helen. Tiba-tiba saja Helen berdiri dari tempat duduknya dan mendatangi salah satu petugas yang sedari tadi hanya terfokus pada layar komputernya, jarak meja petugas itu berkisar dua meter dari tempat di mana orangtua korban sedang duduk berkabung.
Sandi hendak memanggil istri dan menanyakan apa yang hendak dia lakukan, tapi Sandi terlalu kaku untuk menggerakkan mulut dan tulang-tulangnya. Ruang tunggu itu terasa sangat sepi sekali, sehingga hanya terdengar suara embusan napas dari setiap orang yang tersisa. Helen terpaksa harus berbisik kepada petugas berkumis lele itu agar tidak memecahkan keheningan dalam ruangan.
Helen berbalik badan menatap Sandi dan memberi isyarat dengan mulutnya: toilet. Lalu menunjuk pintu yang ada di depannya.
Sandi mengangguk paham.
Beberapa detik setelah istrinya menutup pintu menuju toilet, Bagas membuka pintu ruangan interogasi. Sandi seketika langsung menegakkan tubuhnya dan bersiap.
Bagas melirik-lirik orang yang tersisa dan mendapati Sandi yang wajahnya jelas menunjukkan bahwa dia tengah menunggu gilirannya. Bagas mengangguk ke arah Sandi. Sandi langsung memahami arti anggukan itu.
"Sudah sembilan orang," ujar Bagas sesaat Sandi melangkah memasuki ruangan. Bagas tidak tahu orang yang berada di hadapannya adalah seorang anggota dewan.
Sandi berwajah lonjong dan penampilannya sangat sederhana. Dia hanya mengenakan kaus oblong berwarna putih beserta celana pendek berwarna coklat muda. Bukan penampilannya yang seharusnya dia tampilkan.
Sandi menatap mata Bagas dalam-dalam. Dari sorotan matanya, Sandi dapat melihat kelopak mata Bagas yang mulai mengecil, seperti ada satu pikiran yang tersirat di dalam kepalanya, tetapi Sandi tidak dapat membacanya.
Bagas menoleh ke kaca sekat dan mendapati Helen yang barus saja duduk di samping perempuan tua itu.
"Saya yakin Anda sudah—setidaknya—mendapatkan informasi-informasi yang mengarah kepada kasus ini dari kesembilan orang tersebut," ujar Sandi.
Bagas berpaling menatap Sandi dan berjalan menuju kursi putarnya. "Silakan duduk dulu," ujarnya,
Sandi mengangguk dan membuat senyuman, kemudian dia duduk.
"Beliau yang berada di luar itu..."
"Dia ibu mertua saya," Sandi langsung menjawab.
Bagas mengangguk, tiba-tiba saja dia merasakan bagian dalam lubang hidungnya terasa gatal. Secara refleks dia langsung memasukkan jari manisnya dan menggaruk dinding bagian dalam hidung.
Sandi takjub melihat apa yang baru saja dilakukan Bagas.
"Maaf." Bagas menghentikan apa yang baru saja dia lakukan. Tetapi rasa gatal itu luar biasa menggoda. Susah untuk ditahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[URBAN THRILLER] Ilham Mahendra - The Good Neighbor (SUDAH TERBIT)
Misterio / SuspensoTidak setiap hari seekor anjing mengendus mayat. Namun itulah yang terjadi di kompleks perumahan Parkville. Seorang gadis ditemukan tewas terbunuh, terkubur di sebuah tanah kosong setelah menghilang berhari-hari. Pertanyaannya: siapa? Siapa yang teg...