ANNISSA ANASTASYA
(Rabu, 18 Oktober)
JARUM jam masih tergantung di angka tiga. Seperti biasanya aku selalu sendirian di rumah. Bobby pulang kerja selalu saat langit sudah gelap, sementara Melva tidak menentu, terkadang pada sore hari, namun lebih sering sudah larut malam, apalagi beberapa minggu yang lalu dia baru saja membuka kedai di salah mal di kawasan Jakarta Barat.
Demi mengubur waktu yang tak dapat lagi kubunuh dengan hal-hal bersifat penting, aku memutuskan untuk mendengar lagu. Tangan kananku refleks meraih headset dari meja samping kasur, lalu aku berkutat dengan lilitannya yang bukan main kacau, sembari berjalan menuju balkon kamarku. Dengan nekat aku menaiki pagar balkon kamar, dan melompat ke bawah, aku bahkan tidak perlu berpikir dua kali untuk melakukannya, karena tinggi balkon itu hanya sekitar satu meter lebih. Ada rasa nyeri pada bagian pergelangan kakiku saat tungkai kakiku mendarat di rerumpatan.
Di luar angin bertiup sepoi-sepoi, rambutku yang panjang sesekali dibuat menari-nari di udara olehnya. Aku merasakan kesejukan di bagian belakang leherku, aku memejamkan mata untuk menikmatinya, diiringi dengan sebuah musik akustik yang tersetel di telinga.
Tepat ketika aku membuka mataku lagi, ada seseorang yang sedang mengamatiku dari jalanan depan rumah. Aku sering melihat orang itu di blok ini, selalu masuk-keluar blok dengan membawa keranjang belanjaan. Perempuan itu tampak kaget dan lekas berjalan menuju rumah majikannya. Rumahnya Eric.
Ada satu hal yang selalu terlintas dalam kepalaku setiap kali melihat perempuan itu. Astaga, rambutnya. Mirip sapu ijuk. Rambutnya selalu tampak basah dan lepek. Sempat terlintas dalam pikiranku apa yang akan terjadi jika lubang hidungku kutempatkan dekat-dekat dengan kepalanya, sekedar menerka-nerka aromanya. Bau apa yang akan kucium? Tidak mungkin ibunya Eric tahan dengan penampilan perempuan itu. Apakah dia yang memasak makanan untuk mereka? Sungguh tragis.
Aku segera duduk di atas rerumputan. Ujung rerumputan membuat kulit pahaku terasa gatal tetapi aku tetap bertahan dan menjatuhkan bagian belakang tubuhku, merasakan ketajaman rumput-rumput itu yang menusuk di balik tank top yang kukenakan.
Sekali lagi angin bertiup, dan secara refleks aku kembali memejamkan mata. Aku tidak ingin melewati kesempatan untuk menikmati saat-saat seperti ini. Aku mencoba untuk melepaskan segala macam masalah, pikiran, semuanya yang ada di dalam benakku. Hanya untuk sesaat saja, aku ingin menyapa alam.
Telingaku menangkap suara mesin mobil dari jauh, suara rintihan anjing tetangga, bahkan suara gemuruh angin yang menerpa pepohonan. Aku memusatkan pikiranku. Menyampingkan seluruh perasaan, gagasan, beban pikiran serta hal-hal ganjal yang beranak pinak di dalam kepalaku.
Indra penciumanku berperan penting dalam mewujudkan proses bersemadi ini. Aku menghirup udara dan mengembuskannya melalui mulut. Mengeluarkan suara: sssshhhhhhh, dari lubang kecil yang kubuat dari sela-sela bibir. Perlahan-lahan aku mulai menahan udara lebih lama di paru-paru. Lima detik; menjadi sepuluh detik; naik menjadi tiga puluh detik; sampai pada satu menit dan seterusnya—sampai semampuku. Kemudian aku mengunci bibir, dan mulai bernapas menarik dan mengembuskan napas melalui lubang hidung.
Aku akhirnya sampai pada titik itu. Tubuhku serasa menjadi bagian dari objek-objek yang berada di sekitarku. Aku membayangkan tubuhku berada di dalam air, terombang-ambing ke sana kemari mengikuti arus. Aku membayangkan tubuhku terdorong ke atas langit, terbang terbawa angin, Aku membayangkan tubuhku ditarik ke dalam tanah, lalu ... aku merasakan sesak, tidak ada yang dapat mengantarkanku ke mana-mana di dalam sana. Aku lumpuh. Mereka mulai menggerogotiku. Menelanku perlahan-lahan sampai berubah menjadi wujud yang sama dengan mereka. Aku menjadi tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[URBAN THRILLER] Ilham Mahendra - The Good Neighbor (SUDAH TERBIT)
Mistero / ThrillerTidak setiap hari seekor anjing mengendus mayat. Namun itulah yang terjadi di kompleks perumahan Parkville. Seorang gadis ditemukan tewas terbunuh, terkubur di sebuah tanah kosong setelah menghilang berhari-hari. Pertanyaannya: siapa? Siapa yang teg...