Giliran Helen tiba.Dia sedang menyandarkan kepalanya di bahu ibunya ketika suaminya keluar dari dalam ruangan. Kemudian dia mencondongkan tubuhnya seakan bersiap. Suaminya memberi kode kepadanya untuk segera masuk. Sekejap saja Helen berdiri. Dia berpapasan dengan Sandi di tengah-tengah ruangan. Lalu suaminya menepuk bahunya. Ada apa? Perasaan Helen mulai karut tetapi dia tetap berani melangkah maju.
"Permisi," sahut Helen.
"Ya, silakan duduk," jawab Bagas sambil memperhatikan perempuan itu. Helen terlihat persis sama dengan ibunya, Ester. Kulitnya putih jernih bagaikan susu, hanya saja tubuhnya lebih sedikit jangkung.
Helen duduk di bangku kayu yang sudah diduduki beberapa orang sebelumnya. Dia dapat merasakan kehangatan di bangku itu.
Sekarang Bagas dapat melihat wajah Helen dengan jelas dari jarak kurang dari satu meter. Urat-urat hijau dan biru tampak menyala di bawah lapisan kulit Helen. Hidungnya kecil dan begitu pula dengan bibirnya. Rambutnya pirang, dan bersih, seperti baru saja pulang dari salon.
"Dengan?" Bagas mengacungkan tangannya untuk menjabat.
Helen tampak kaget, dia tidak mengira akan adanya kontak fisik secara langsung dengan Bagas. Dia mengharapkan hanya sebatas tanya jawab saja. Karena selagi di dalam toilet tadi dia sudah melatih bagaimana cara menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar dalam suatu penyelidikan.
Helen masih menatap tangan kanan Bagas yang masih terancung kepadanya. Kemudian dia buru-buru menjabat tangan itu dan memperkenalkan diri. "Helena," ujarnya.
Kemudian mereka berdua sama-sama melepas jabatan tangan mereka yang terasa canggung itu.
"Sebelum saya melanjutkan, saya ingin mengetahui bahwa Anda sedang dalam kondisi sehat dan akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya?"
Helen mengangguk dan kemudian menjawab "Ya, saya sekarang dalam keadaan sehat jasmani dan bersedia untuk memberikan keterangan sebagai mana mestinya."
Setidaknya itu yang Helen ingat. Jawaban semacam itulah yang dia baca dari sebuah artikel di internet saat dia berada di dalam toilet tadi. Helen mencoba mengingat-ingat pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Setelah ini mungkin dia akan bertanya apakah aku pernah terlibat dalam jerat perkara tindak pidana pembunuhan, pikir Helen, bibirnya mengatup dengan sangat kuat.
Bagas dapat melihat itu, di balik bibir yang dipakaikan lipstik berwarna cokelat terang itu ada lidah yang melafalkan sesuatu.
"Saya boleh tahu umur dan profesi Anda?" tanya Bagas.
"Saya berumur tiga puluh delapan tahun dan saya pebisnis."
"Business woman," sambung Bagas.
"Hmm ya, tapi saya lebih suka menyebut diri saya sebagai ibu rumah tangga saja. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah soalnya," jawab Helen sambil tersenyum.
"Kapan kali terakhir melihat Annissa?" tanya Bagas, memindahkan topik seakan dia sudah tidak tertarik lagi dengan topik sebelumnya.
Helen tercengang dan terdiam selama beberapa detik, memproses pertanyaan dahsyat yang baru saja dilontarkan kepadanya. Dia memaparkan gusi atasnya dengan senyuman lebar. Dia lupa. Satu memori mengenai Annissa yang ada dalam kepalanya hanya kejadian yang terjadi pada sore hari di bulan Oktober itu. Dia menjadi pihak penengah konflik antara Annissa dan istri si pengacara, Lisa. Dia belum ingat kapan kali terakhir dia bertemu lagi dengan Annissa setelah itu.
Kemudian tampak kelegaan di wajah Bagas.
"Sebentar, saya ingat-ingat dulu," Helen menutup matanya, tangan sebelah kanannya diletakan di atas meja. Dia membuat suatu gumaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
[URBAN THRILLER] Ilham Mahendra - The Good Neighbor (SUDAH TERBIT)
Misterio / SuspensoTidak setiap hari seekor anjing mengendus mayat. Namun itulah yang terjadi di kompleks perumahan Parkville. Seorang gadis ditemukan tewas terbunuh, terkubur di sebuah tanah kosong setelah menghilang berhari-hari. Pertanyaannya: siapa? Siapa yang teg...