(Senin, 28 Agustus)

1K 112 0
                                    

ANNISSA ANASTASYA

(Senin, 28 Agustus)

AKU berada di dalam bilik toilet, memandangi satu buah coretan baru di balik pintu. Tidak lama lagi coretan itu akan hilang, entah di hapus dengan WD-40 atau dicat kembali oleh Pak Supri—si penjaga sekolah. Dia sangat sigap dalam pembasmian coretan-coretan yang hampir di setiap bulannya muncul secara tiba-tiba. Mereka sering menghias di tembok belakang kelas, bilik toilet, meja belajar, tempat-tempat yang selalu dijadikan sasaran para murid untuk melampiaskan jiwa seni mereka yang terpendam.

Sekolah ini cukup ketat dengan masalah kedisiplinan para siswanya. Pada awalnya aku sempat kewalahan untuk menyesuaikan diriku dengan peraturan-peraturan yang ada. Tetapi akhirnya aku mendapatkan cara untuk menaklukkan para pihak yang membuat aturan-aturan itu. Ya, Kepala Yayasan dan para guru. Aku menjadi siswi kesayangan mereka setelah membawa nama sekolah dalam lomba-lomba renang bergengsi. Dengan begitu, sebagian peraturan tidak lagi berlaku untukku. Bahkan saat upacara tadi pagi aku dipanggil ke tengah-tengah lapangan untuk diberikan piagam penghargaan dari Kepala Yayasan atas kemenanganku beberapa bulan yang lalu. Banyak pasang mata yang menyorak untukku, tetapi tidak sedikit juga murid di sekolah ini yang menganggapku sombong. Masa bodoh dengan mereka yang tidak menyukaiku. Mereka tidak tahu bahwa tidak mudah bagiku untuk berada pada puncak yang saat ini menjadi tempatku bertengger.

Aku kembali fokus pada coretan di balik pintu. Kali ini gambarnya satu pucuk bunga mawar lengkap dengan satu helai daun di tangkainya yang berduri—digambar dengan spidol berwarna biru. Di bawahnya dituliskan nama sang seniman, sengaja disingkat agar tidak ketahuan pihak sekolah. Inisialnya: A–C–B. Aku berusaha mengingat-ingat nama panjang orang-orang yang kukenal melalui ketiga huruf aljabar itu. Aku tahu ini konyol, tapi sudah tidak ada lagi yang bisa kupikirkan selain hal-hal yang dapat mengalihkan pikiranku dari Radit. Pria tetanggaku itu telah masuk ke dalam perangkapku (atau mungkin aku yang terjerat masuk ke dalam perangkapnya?) yang jelas aku sedang tidak bersemangat untuk memikirkannya. Ponselku kehabisan daya sehingga yang bisa kulakukan di dalam bilik ini hanya bermain-main dengan akal sehatku sendiri. Aku juga tidak ingin memikirkan masalah-masalah yang datang dari rumah. Hubunganku bersama Bobby dan Melva dalam beberapa bulan terakhir ini sedang tidak baik.

Cukup.Kembali dengan sang seniman bunga mawar ini.Hmmm, semua murid yang kukenal di sekolah ini tidak cocok dengan inisialnya.

Aku mengangkat pergelangan tangan sebelah kiri. Sudah pukul dua lebih sepuluh menit. Sebentar lagi lonceng akan segera berbunyi. Aku mengejan. Segera saja rasa lega datang menyapu bersih perutku yang sedari tadi mulas. Secepatnya aku menyelesaikan urusanku di dalam bilik itu.

Aku membuka pintu bilik dan melihat seorang siswi berkacamata dan berambut pendek sedang berdiri menunduk di depan pintu. Dia terkesiap melihatku. Aku melangkah maju sehingga badannya otomatis bergeser memberiku jalan.

Aku berjalan menuju cermin untuk merapikan penampilanku. Saat sedang mencuci tangan aku dapat merasakan ada sepasang mata yang sedang mengawasiku.

Di depan cermin aku melihat rambutku yang tampak sedikit berbeda dari yang seharusnya. Tak perlu sisir, hanya perlu sedikit sentuhan dengan jari-jemariku untuk membenarkannya (lagi pula sisirku kutinggalkan di dalam ransel).

Lewat pantulan cermin, sorot mataku tidak sengaja menangkap perempuan itu. Dia masih berdiri di sana, tak bergerak sama sekali dan dia sedang memandang ke arahku. Aku tidak dapat menjelaskan ekspresi wajahnya, tetapi dia membuat bulu kudukku sedikit meremang.

Aku tidak boleh kelihatan takut. Tidak. Aku berusaha balas menatapnya dengan tajam melalui cermin.

Dia tersenyum.

[URBAN THRILLER] Ilham Mahendra - The Good Neighbor (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang