BAGAS berdiri di samping lubang galian tanah, tempat jasad Annissa di sembunyikan, sebelum akhirnya tercium dan ditemukan oleh seekor anjing. Cuaca pada siang itu terbilang cukup bersahabat. Matahari bersinar seadanya. Angin bertiup di seluruh penjuru jalanan blok, membuat daun-daun kering dari pepohonan yang ditanam di sepanjang jalan terbang berhamburan. Bagas melihat garis polisi yang sudah terlepas dari tangkai kayu yang tercocok di sekeliling tanah kosong itu. Garis polisi bercorak kuning hitam itu berkibaran tertiup angin, lalu seperti sedang mengumumkan sesuatu kepada Bagas, ujung talinya berkibar menunjuk ke arah kolam renang yang terletak tidak jauh dari area tersebut.Termakan petunjuk alam, Bagas melangkah menuju area kolam. Bagas menghitung langkahnya. Dari tanah kosong tempat jasad Annissa ditemukan hingga ke area kolam, totalnya 45 langkah—standar ukuran langkah kaki orang dewasa. Bagas lalu memperhatikan kejernihan air kolam yang saat itu memang sedang dalam keadaan bersih, seakan baru saja dikuras dan diganti airnya. Tidak ada yang tampak aneh di area kolam itu. Atau mungkin, tempat itu memang sudah diatur sedemikian rupa agar tidak menarik kecurigaan orang-orang dan para petugas yang berwenang.
Dekat dengan area kolam terdapat pondok yang mencuri perhatian Bagas, lalu dia duduk di sana. Selama beberapa menit dia menatap sekeliling. Ada semak di samping kanan, di hadapannya kolam memanjang secara vertikal, di samping kiri tembok abu-abu kokoh membentengi area luar.
Belum ada petunjuk.
Tidak ada yang dapat dijadikan Bagas sebagai penyulut untuk kasus ini. Kecuali dia memaksakan beberapa pihak atau para tetangga korban untuk berkata sejujurnya. Bahkan Bagas sendiri tidak tahu siapa yang jujur dan siapa yang berbohong di sini.
Bagas bergeming sesaat. Dia baru saja teringat kembali bahwa posisi kolam itulah yang paling dekat dengan tempat jasad Annissa dikuburkan. Bagas sontak berdiri mendekat ke tepian kolam lalu dia melihat ke sekeliling lagi. Pikirannya kini terbuka. Ada satu rumah yang letaknya paling dekat dari area itu. Bagas berjalan mendekat menuju rumah tersebut, melewati halaman samping rumahnya yang luas dan terbuka. Di samping pintu masuk rumah itu terpasang angka sembilan. Ini kediaman keluarga Edyanto, batin Bagas. Eric. Rini. Mikael dan Dwi.
Rumah itu tampak tak berpenghuni jika dilihat dari luar. Di sisi sebelah kirinya ada pintu yang mungkin terhubung langsung ke dapur. Tiba-tiba pintu itu terbuka dan keluarlah seorang perempuan, dia mengenakan kerudung berwarna hitam sehingga menutupi rambutnya yang seingat Bagas saat diinterogasi beberapa hari yang lalu tampak tak enak dipandang. Dwi. Terlihat jelas perempuan itu baru saja terbangun dari tidurnya, matanya bengkak.
Dwi mengangkat pandangannya dan langsung berpapasan dengan sorot mata Bagas. Wajah perempuan itu seketika berubah drastis sedetik setelah dia menyadari identitas pria yang sedang berada di halaman rumah majikannya itu.
Bagas melempar senyum.
Dwi cepat-cepat merapikan posisi kerudungnya dan membalas senyuman Bagas sembari menutup pintu di belakangnya.
Mereka berdua sama-sama berjalan menghampiri satu sama lain.
Bagas lebih dulu memulai, "Uhm, orang rumah ke mana?" Langkahnya terhenti saat jarak dia dan perempuan itu hanya berkisar beberapa langkah lagi.
"Bu Rini lagi mengajar. Pak Mikael dikamarnya, mungkin tidur."
"Eric?" tanya Bagas.
Sorot mata perempuan itu tampak tidak tertuju pada lawan bicaranya.
"Eric?" Dwi bertanya sekali lagi.
Bagas mengangguk.
"Itu dia. Di belakang, Mas" Dwi menunjuk dengan dagunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[URBAN THRILLER] Ilham Mahendra - The Good Neighbor (SUDAH TERBIT)
Gizem / GerilimTidak setiap hari seekor anjing mengendus mayat. Namun itulah yang terjadi di kompleks perumahan Parkville. Seorang gadis ditemukan tewas terbunuh, terkubur di sebuah tanah kosong setelah menghilang berhari-hari. Pertanyaannya: siapa? Siapa yang teg...