(Kamis, 14 Desember)

831 102 3
                                    

ANNISSA ANASTASYA

(Kamis, 14 Desember)

AKU sedang duduk sendirian di kantin taman sekolah lalu seseorang menepuk pundakku dari belakang. "Sendirian banget, Bu," ujar orang itu sembari melempar senyuman menggoda. Itu Ucup. Tanpa meminta izin dariku dia langsung duduk di samping.

"Iya, tiba-tiba pada semuanya menghilang dari peradaban. Munafik. Mereka tidak bisa menerima kekalahan," cetusku sambil menyeruput minuman soda di genggaman.

"Ah, aku tahu," Ucup tertawa.

Mas Tono datang membawa satu mangkok bakso pesananku. "Ini buat Annissa. Oh ya, katanya bentar lagi ada lomba ya?"

"Makasih Mas Oton. Iya Mas, dua minggu lagi," balasku.

"Oalah, semoga menang lagi ya. Oh iya, ini bawang gorengnya." Mas Tono menyodorkan satu piring kecil dipenuhi dengan bawang goreng. Dia tahu aku selalu meminta tambahan bawang goreng sejak dulu. Sepertinya semua makanan jika ditambahkan bawang goreng, tingkat kelezatannya meningkat satu level.

"Itu bagaimana sih tandingannya, katanya kalau menang bakal dapat slot ikutan Indonesia Open Aquatic ...."

"Championship," sambungku. "Ya."

Ucup menunggu penjelasanku tetapi konsentrasiku telah beralih ke sosok yang sedang duduk menatapku dari beberapa meja di depanku. Eric.

Ucup melambaikan tangan di depan wajahku. Ekspresi Eric tiba-tiba berubah padam, dia segera mengeluarkan ponsel dari sakunya dan berpura-pura mengecek sesuatu.

"Apa tadi, Cup?" tanyaku, kembali menatap Ucup.

"Elah, kacang-kacang!" protesnya dengan ekspresi konyol.

Aku tertawa lalu menepis wajahnya.

Ucup semakin menjadi-jadi. Dia memasang ekspresi sedih bagaikan seekor anak kecil yang baru saja jatuh tercium aspal. Aku membuka mataku lebar-lebar lalu mengangkat botol minuman sodaku berpura-pura akan menyiraminya.

"Eh, eh," Ucup berhenti dan kembali memasang wajah normal. Lalu dia tiba-tiba tersenyum lebar, susunan giginya yang tidak begitu rapi—tapi putih—menarik perhatianku. Rupanya dia melihat teman-temannya. Ucup melambaikan tangannya memanggil mereka.

Ade, Rendy dan satu orang lain yang tidak kukenal datang membuat rusuh. Ade mengelus-elus rambutku. Kelakar anak lelaki jika sedang bersama teman-temannya lelakinya. Ade tidak mungkin berani melakukan itu jika tidak ada teman-temannya yang melihat. Begitulah lelaki, mereka hanya bernyali jika ada teman di sekitar mereka. Tapi jika sedang sendirian mereka tak berdaya sama sekali, persis anak kucing yang baru saja diguyur air. Penakut.

Aku memukul tangan Ade lalu dia tertawa dan duduk di sampingku. Rendy dan laki-laki berwajah tampan yang tak kutahu namanya, duduk di seberangku.

"Eh, sudah kenal belum?" Ade memberi kode pada laki-laki itu. Wajah temannya berubah gugup, dia menggeleng.

"Ya sudah, kenalan sekarang," Rendy menyenggol pundak anak laki-laki yang tak kukenal itu dengan pundaknya.

Laki-laki itu menatapku tersenyum.

"Willy." Dia memperkenalkan.

Astaga. Senyumannya. Jika dalam kamusku Melva adalah perempuan di dunia ini yang kukenal dengan senyuman bidadari di wajahnya. Willy mungkin adalah versi laki-lakinya. Senyumnya sangat pas diperpadukan dengan bentuk rahangnya yang begitu ramping. Alisnya tebal, bibirnya penuh isi, hidungnya tidak kalah mancung dengan aktor-aktor muda Indonesia.

"Annissa," ujarku. Aku bingung harus tersenyum balik kepadanya atau tidak. Maksudku aku tidak ingin memperlihatkan bahwa aku baru saja terkesima melihat sosoknya. Jadi aku memutuskan untuk tidak tersenyum, alih-alih aku hanya mengangguk.

[URBAN THRILLER] Ilham Mahendra - The Good Neighbor (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang