(Minggu, 17 September)

1K 105 4
                                    

ANNISSA ANASTASYA


KURSI berbahan kulit tempat aku duduk mulai terasa tidak nyaman. Sudah sekitar satu jam aku duduk menunggu di restoran ini dan aku sama sekali belum memesan minuman atau makanan yang tertera pada buku menu di atas meja.

Singgungan pertama datang dari seorang pelayanlaki-laki yang memakai terlalu banyak minyak rambut sehingga membuat semua orang yang melihat akan terfokus pada kilauan rambutnya. Dia bertanya apakah aku ingin mencoba menu utama spesial mereka yang disajikan dengan potongan ikan salmon asli Jepang. Tawaran itu segera aku tolak dengan sebuah alasan klasik: masih menunggu teman. Singgungan kedua datang dari pelayan yang berbeda. Seorang perempuan. Berbeda dengan teguran dari pelayan yang sebelumnya, teguran seorang perempuan biasanya lebih terasa artinya, apalagi jika teguran itu diberikan kepada sesama perempuan. Serasa diajak berperang. Namun, aku meladeni perempuan itu dengan baik, dia pergi dengan patuh dan perasaan takut yang dapat kubaca dari raut wajahnya.

Aku membuka ponselku dan mengirimkan pesan di grup percakapan antara aku, Cindy dan Aulia. Selang waktu satu menit Cindy membalas: on the way. Diikuti dengan sebuah emoticon senyum. Dia sebelumnya sudah bilang dia akan membawa sahabat lamanya, dan akan dia perkenalkan padaku. Seorang perenang yang berasal dari sekolah lain, sempat berada di club renang yang sama dengan Cindy saat dia SMP. Maya, nama temannya itu Maya, sering tidak sengaja diucap Cindy saat kita berbincang-bincang seusai latihan atau terkadang nama itu muncul di layar ponsel Cindy dan seakan menghipnotisnya sehingga dia lupa dengan keberadaanku. Hari ini aku akan bertemu dengan sosok itu.

Cindy dan Aulia masih belum menjadi pengikut setiaku. Terkadang mereka suka menolak apa yang aku perintahkan. Sebagai ketua club renang di sekolah, aku dipercayakan Kak Thomas untuk mengatur jadwal latihan. Cindy dan Aulia sering kali mempermasalahkan hari dan waktu yang aku tentukan. Sebagian anak-anak juga mulai ikut-ikutan membangkang seperti mereka berdua.

Hari ini aku sengaja mengajak mereka bertemu untuk sekadar bonding time. Mereka perlu dilatih agar menjadi jinak. Jadi aku terpaksa harus memainkan sebuah lakon. Berpura-pura menjadi teman yang baik dengan mengajak mereka jalan-jalan, berpura-pura menyukai apa yang mereka sukai dan ikut-ikutan berkawan dengan kawan mereka. Sampai nantinya aku mendapatkan kepercayaan mereka masing-masing. Ini akan terus kulakukan sampai Cindy dan Aulia turut dengan apa yang aku perintahkan. Sampai mereka menganggapku sosok yang patut disegani.

Dasar boneka-boneka bodoh.

Aku mengunci layar ponselku dan memanggil pelayan pria yang kebetulan lewat di depan meja, lalu memesan satu gelas chocolate milk shake kepadanya. Pandanganku terarah ke pintu masuk restoran. Seorang perempuan yang wajahnya tak asing bagiku masuk bersama seorang pria, dia berjalan menggandeng pria itu. Aku seperti mengenal perempuan itu.

Aku menyelisik lebih dalam dengan memicingkan mata, Ya, tidak salah lagi. Dia adalah salah satu tetanggaku. Melva dan perempuan itu pernah berbincang-bincang di ruang tamu kami.

Dia pernah bertamu ke rumah. Waktu itu aku yang membuka pintu. Dia membawa satu tupperware berukuran sedang berisi kue lapis legit yang sudah terpotong-potong di dalamnya. Pada saat itu aku ikut serta dalam perbincangan mereka yang isinya hanya basa-basi saja dari awal hingga akhir percakapan. Dia memperkenalkan dirinya, asal mereka sebelumnya dari mana dan profesinya.

Namanya Wanda, suaminya adalah seorang dokter dan mereka mempunyai seorang anak perempuan. Baru kusadari ternyata anak perempuan yang menyapaku di toilet beberapa minggu yang lalu itu adalah anaknya. Anak aneh dengan senyumnya yang menyeramkan itu. Debby.

[URBAN THRILLER] Ilham Mahendra - The Good Neighbor (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang