KELUARGA KORBAN Blok D3 No. 12

1K 131 8
                                    

BOBBY & MELVA (43 TAHUN); BANKER & PEBISNIS

BAGAS menepis bangku yang terletak di sampingnya lalu menyeret bangku itu masuk ke dalam ruang interogasi. Dia juga memberi kode kepada dua orang terakhir yang berada di ruang tunggu itu untuk mengikutinya masuk. Diletakannya bangku itu di samping bangku kursi yang sudah menjadi bangku panas bagi para saksi sebelumnya.

Bobby mengiring Melva yang penampilannya sudah tampak amburadul untuk segera masuk. Mereka berdua duduk di bangku yang telah disediakan Bagas. Sebagai seorang kepala keluarga, Bobby tahu dia juga tidak boleh terlihat ambruk seperti istrinya, dia harus membantu Melva melewati ini semua.

Tak ada duka lain yang mampu mengimbangi rasa kehilangan mereka berdua terhadap kematian anak mereka, Annissa. Saat kecil hingga dia beranjak remaja, Annissa berbeda dengan anak-anak gadis lain yang ada di sekolahnya. Kebanyakan anak perempuan biasanya bersifat penurut kepada kedua orangtua mereka. Tidak, Annissa tidak seperti itu. Dia anak yang pemberontak, tetapi bukan pembuat onar.

Bobby dan Melva paham betul sifat Annissa. Gadis itu tumbuh dewasa sebelum waktunya dan itu bukan salah mereka dalam mendidik anak. Mereka telah melakukan semampunya. Tetapi Annissa tetaplah Annissa, dia hidup dengan dunianya sendiri. Selama dia tidak mengganggu kehidupan orang lain, Bobby dan Melva membebaskan Annissa memilih jalan hidupnya sendiri, asalkan tetap teguh pada pendidikannya.

"Sebelumnya, saya turut berduka atas kejadian yang menimpa anak kalian." Bagas menatap Melva dalam-dalam. Dalam selang waktu beberapa menit saja ruangan itu sudah berubah menjadi suram, dipenuhi aura kedukaan. "Apakah sekarang waktu yang tepat? Maksud saya, kalian bisa ...," Bagas tidak yakin mereka berdua siap untuk memberikan keterangan.

"Ya," jawab Melva, dia menyibak rambutnya yang jatuh menjuntai menutupi wajahnya lalu segera menatap Bagas seolah dia sudah cukup kuat untuk menanggung kepergian anaknya. Pembunuh Annissa harus terungkap dan diadili, ujar Melva dalam hati.

Bobby melepaskan rengkuhannya dari sang istri. Lalu mengatur posisi tubuhnya setegap mungkin, lurus menatap Bagas. Jari-jemarinya saling bertaut. Bobby berkepala botak, perutnya sejahtera, dia mengenakan kemeja bergaris merah yang terlihat terlalu kecil untuk ukuran tubuhnya, kancing kemeja di bagian tengah perutnya dibiarkannya menganga. Sementara Melva, sekilas terlihat mirip seperti Annissa, perbedaannya hanya pada model rambut dan bentuk bibir mereka. Garis bibir Melva lebih panjang dibandingkan Annissa, sehingga jika Melva tersenyum dia memaparkan seluruh gigi-giginya yang rapi dan tampak menawan.

"Baik. Saat ini sedang dilakukan pemeriksaan pada jasad Annissa, itu juga atas persetujuan kalian."

Mendengar nama anaknya diucapkan Melva seketika tertegun. Dia teringat kembali wajah Annissa pada saat-saat terakhir mereka bersua. Pagi itu Annissa meminta izin untuk pergi keluar, sialnya Melva tidak menanyakan ke mana anak itu hendak pergi. Mau ke mana pun dia, Annissa tetap akan pulang dan dia bisa menjaga dirinya, itu yang Melva yakinkan pada dirinya sendiri pada hari itu.

"Begini, saya mungkin membutuhkan jawaban-jawaban kalian untuk merampung berkas awal dari kasus ini. Tentang apa sebenarnya yang terjadi. Sebagian saksi memberikan kesan yang tidak baik mengenai anak kalian." Bagas menaikkan dagunya sedikit lebih tinggi. "Jadi saya butuh konfirmasi dari kalian berdua tentang anak kalian sendiri. Secara terbuka, tanpa menutup-nutupi apa pun," imbuhnya, suaranya terdengar menggema dalam kesunyian ruangan.

"Iya," jawab Melva penuh yakin.

Kali ini Bagas dapat melihat dengan jelas kedua bola mata itu, merah, bengkak dan sudah begitu sembab.

[URBAN THRILLER] Ilham Mahendra - The Good Neighbor (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang