Ini adalah hari terakhir pps kami, besok kami akan berangkat ke Blitar untuk outbond. Aku dan teman satu dep ku bercerita bahwa pps seperti ini takkan ada di kampus lain, ia mengatakan sudah tidak kuat menahan rasa dongkol kepada para senior kami.
"Kalo bisa tuh ya, aku jejeli pake cabe mulut mereka itu, " kata Rima dengan menggebu-gebu saat kami selesai sholat dhuhur di masjid.
Aku tertawa teringat ketika jam makan siang di hari kedua pps. Kami disuruh mengangkat tinggi-tinggi satu cabe rawit lalu menguyahnya dengan perlahan dan tidak boleh mendesis karena rasa pedas. Panitia pps menyuruh kami untuk menghabiskan tiga buah cabe rawit berukuran sedang dan nasinya, sedangkan lauknya harus dimakan terakhir. Kami juga tidak diperbolehkan minum sebelum makanan kami habis. Entah dari mana ajaran tata cara makan seperti itu. Alhasil kami pun berusaha entah bagaimana caranya untuk mengalihkan fokus rasa pedas kami ke arah lain. Aku sampai menepuk pahaku sendiri karena aku tidak seberapa suka cabe. Kau tahu rasanya makan cabe dengan nasi? Rasanya tubuhmu dibakar dari dalam walaupun karbohidrat yang dikenal manis saat dikunyah pun takkan bisa menghilangkan rasa pedas.
Ini ada ide hukuman terbaru dari panitia pps ketika salah satu diantara kami tidak menyanggupi rasa pedas itu, dia pun minum dari botol yang biasa kami bawa 600cc habis dalam satu tegukan.
"Siapa suruh kamu minum duluan hah! " seru Bang Angga murka, "teman yang lain aja masih tahan, kok kamu enggak! Banci ya kamu! "
Aku menoleh ke belakang, siswa yang dimarahi monster kejam itu adalah anak laki-laki dari dep 2 yang tidak ku tahu namanya. Wajahnya pucat, keringatnya sebesar biji jagung, dengan bibirnya yang ndower karena kepedasan.
"Berdiri kalian semua! " seru Bang Angga sambil melangkah cepat ke depan aula.
"Mohon ijin berdiri! " teriak kami kompak
"Ambil karet gelang di tangan kalian, " perintahnya sambil berkacak pinggang.
Kami pun mengambil dua buah karet gelang dari tangan kami. Masih ingat kan, bahwa karet gelang ini adalah karet pembungkus nasi?. Ku harap kau ingat.
"Taruh karet gelang itu di ujung kedua jari telunjuk kalian, " kata Bang Angga dengan nada begitu tenang.
Kami pun menuruti.
"Rentangkan tangan kalian kedepan hingga saya bilang stop, " katanya lagi dengan sorot mata tajam, "jika karet gelangnya jatuh saya suruh lari lapangan 10 kali. "
Glek!
Ini adalah hukuman terberat menurutku bahkan ini melebihi pedasnya makan cabe. Kami merentangkan tangan kami ke depan dengan mempertahankan karet gelang di ujung kedua jari telunjuk kami agar tidak jatuh. Satu menit dua menit kami masih bertahan. Menit ketiga otot lengan atas udah mulai protes, rasanya kaku tapi masih bisa ditahan. Menit kelima hingga sepuluh menit berlalu keluarlah kristal alami dari tubuh kami dengan otot yang sudah mulai panas dan tanpa sadar jari telunjuk kami gemetaran.
"Ada yang dongkol! " seru Bang Angga menggema aula
"Siap tidak! "
Nih orang minta ditelen idup-idup kali ya, batinku.
"Jangan curi-curi! Ketahuan saya suruh lari lapangan 10 kali, " katanya ketus, "udah dikasih makan masih aja nggak bersyukur, kalian itu dikasih makan ya dihabisin, cabe cuma tiga aja udah gak tahan!"
Ya Allah, boleh nampar Bang Angga dengan sekilo bumbu cabe nggak? Batinku sambil menahan lenganku yang begitu kaku.
"Turun setengah! " perintahnya
"Woi! Naik dikit! Curi-curi kamu! " kata Bang Sat yang entah datang dari mana tiba-tiba memarahi anak.
Hukuman itu pun berlangsung sampe 20 menit membuatku ingin menangis. Ya Tuhan, sungguh lenganku rasanya ingin putus kalau dihukum seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Nurse
Non-FictionIni sekilas dari kehidupan mahasiswa perawat dan semua lika-liku yang terjadi selama praktek di masyarakat dan rumah sakit. Some scenes based on true story.