Selama ners, aku termasuk anak yang selalu mendapat urutan pertama jaga malam selama dua hari. Bukan berarti jadwal jagaku jadwal neraka terus. Kadang MMLSSP kadang MMLPPSS. Kalau MMSSPPL matilah aku, bukan bermaksud alay. Jadwal neraka biasanya berbarengan dengan seminar besar. Sialnya, jadwalku tepat saat jaga malam kedua, yang artinya hari ketiga aku libur. Seminar besar diadakan sampai sekitar pukul 12 siang, otomatis liburku terpotong, kan? Libur macam apa ini?
Sebenarnya jaga malam itu enak karena kita cuma injeksi khusus pukul 10 malam, observasi tanda vital pukul lima pagi, bagi obat pukul enam, ganti cairan infus, dan membagikan air panas. Tidak terlalu banyak pekerjaan dibanding jaga pagi atau jaga siang. Kalau jaga malam, kita bisa dengan leluasa mengerjakan tugas kita.
Malam ini aku harus berisitirahat dengan tenang, damai, dan tepat waktu sebelum seminar jam 8 besok. Semua tugas sudah selesai, termasuk menyiapkan injeksi pukul sepuluh, mencatat infus pasien yang habis, dan menyiapkan obat pukul enam pagi. Dengan sok akrab, aku pun mengajukan diri ke Mas Arga--perawat ganteng--di ruang bedah saraf. Dia terlihat masih menulis rekam medis pasien. Sedangkan Mbak Astrid masih ke ruang Stroke ICU entah ngapain.
"Mas, aku injeksi sekarang ya. Udah jam sepuluh," kataku.
Mas Arga mendongak lalu tersenyum menampakkan gingsulnya. "Boleh, minta tolong ya, Dek."
Kuanggukan kepala lalu berjalan ke ruang obat. Kuambil bak instrument kecil yang sudah berisi beberapa macam spuit yang telah diberi label nama pasien dan obatnya. Tak lupa juga aku mengambil handscoon dan beberapa bungkus alkohol swab. Kulangkahkan kaki menyusuri lorong kamar satu sampai tujuh untuk memberikan injeksi sesuai nama pasien. Tidak enaknya injeksi malam-malam adalah kadang aku merasa nggak enak hati karena posisi pasien sudah terlelap. Kalau dibangunin kasihan, kalau nggak dibangunin nanti melanggar etik. Dilema, kan? Akhirnya terpaksa dengan sentuhan lembut dan suara pelan kubangunkan mereka sambil meminta maaf karena menganggu jam istirahat.
"Pak ... permisi," kataku saat mencoba membangunkan pasien kamar 7c.
Cukup lama karena pasien berusia 65 tahun itu benar-benar sudah terlelap tidur. Lalu kucoba membangunkan istrinya yang menggelar tikar di sisi kanan kasur pasien.
"Bu," panggilku dengan suara lirih sambil menyentuh tangan kanannya.
Alhamdulillah, si Ibu peka. Beliau bangun dengan sedikit terkejut melihatku. Kedua matanya memerah lalu mengerjap beberapa kali.
"Ma'af, menganggu. Saya mau injeksi bapak obat antibiotik ceftriaxone."
"Oh, iya-iya," kata si ibu berdiri membangunkan suaminya. "Pak... Susternya mau nyuntik obat."
Si bapak sudah bangun. Kembali aku mengatakan maaf bahwa aku menganggu jam tidurnya. Dengan perlahan, kumasukkan obat yang berisi ceftriaxone secara perlahan karena antibiotik ini jika masuk ke pembuluh darah biasanya menimbulkan rasa nyeri. Kenapa? Karena konsentrasi antibiotik itu cukup pekat. Jadi, jika kau melarutkannya hanya 10cc pasti masih menimbulkan rasa tidak nyaman. Sehingga, kalau aku sedang oplos obat injeksi terutama antibiotik, akan kuberikan sampai 20cc.
Setelah selesai memberikan injeksi terakhir. Aku kembali ke ruang perawat. Mas Arga dan Mbak Astrid saling menunduk memainkan hp masing-masing. Mas Arga mendongak sambil tersenyum kepadaku.
"Nanti kamu tidurnya sama Mbak Astrid di sana. Nanti aku tidur di ruang karu," kata Mas Arga menunjuk ruang ganti perawat di ujung ruangan ini. Sedangkan ruang kepala ruangan(karu) ada di sisi kanan ruang ganti.
Aku hanya menganggukkan kepala. Dalam hati aku mencibir, sudah tahu lah jika aku tidur sama Mbak Astrid. Mana mungkin aku tidur sama cowok. Bisa digantung di tengah lapangan sama kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Nurse
Non-FictionIni sekilas dari kehidupan mahasiswa perawat dan semua lika-liku yang terjadi selama praktek di masyarakat dan rumah sakit. Some scenes based on true story.